Tentang Belajar-Aqidah

Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan berlaku di alam semesta ini, inti pokok dari Islam adalah Aqidah. tetapi saat ini fenomena yang ada kebanyakan dari umat Islam sendiri jarang yang mengenal Aqidahnya sendiri yang harus dia yakini dan pegang erat hingga ajal dan nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb-nya Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, dalam blog ini insya Allah akan di isi dengan Aqidah Islam yang shahih sesuai dengan apa yang di ajarkan Rosulullah kepada para murid-murid beliau yaitu Shahabat Radliaallahu 'anhum ajmain. bukan Aqidah yang dibuat-buat oleh generasi sesudahnya yang menyimpang dari ajaran Nabi Shallallahu'alaihi wa salam. artikel-artikel tersebut kami ambil dari berbagai sumber yang shahih insya Allah dan bukan atas tulisan kami sendiri. kami bukan ustadz, kami hanyalah penuntut ilmu, oleh karena itu adalah sebuah adab bagi kami untuk merujuk segala sesuatu kepada sumbernya yaitu para 'ulama.

HUKUM MEMANGGIL NON-MUSLIM SEBAGAI SAUDARA

Jumat, 10 Desember 2010
Oleh : Abu Al-Jauzaa'



Pada beberapa kesempatan kita sering mendengar perkataan yang beredar di masyarakat yang mengatakan bahwa : “Kita semua bersaudara”. Padahal di situ bercampur antara muslim dan non-muslim. Atau dalam konflik SARA yang terjadi di beberapa daerah Indonesia, sering disebutkan bahwa masyarakat muslim dan non-muslim itu bersaudara. Atau dalam ungkapan basa-basi sejenis. Mungkin tujuan orang yang mengatakan itu adalah demi menjaga persatuan, etika kehidupan bermasyarakat, dan yang lainnya.

Pada kesempatan ini akan coba dituliskan dari apa yang telah dijelaskan oleh para ulama tentang permasalahan dimaksud ditinjau dari kaca mata syari’at.
Allah ta’ala telah berfirman :

إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. Al-Hujuraat : 10).

Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya ketika berkomentar tentang ayat tersebut menyebutkan beberapa hadits, diantaranya :

المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه

”Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendhalimi dan membiarkannya (didhalimi)” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM

Jumat, 19 November 2010
Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al Atsari


KEUTAMAAN SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM
Keutamaan para sahabat Nabi, tingginya kedudukan dan derajat mereka, merupakan perkara yang telah diketahui baik oleh kalangan kaum Muslimin, dan merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam din Islam. Banyak ayat-ayat Al Qur`an dan Hadits Nabi yang menerangkan hal tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya : "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". [Al Fath : 29].

Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum, kerena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir berkata: "Bisyr telah menyampaikan kepada kami dari Yazid, dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah "berkasih sayang sesama mereka", yakni Allah menanamkan ke dalam hati mereka rasa kasih sayang sesama mereka. Dan firman Allah "kamu lihat mereka ruku` dan sujud", yakni kamu lihat mereka ruku` dan sujud dalam shalat. Firman Allah "mencari karunia Allah", yakni mereka mencari keridhaan Allah dengan ruku` dan sujud tersebut, dengan sikap keras terhadap orang kafir dan saling kasih sayang sesama mereka. Hal itu merupakan rahmat Allah kepada mereka dengan memberi keutamaan atas mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surgaNya. Firman Allah "dan keridhaanNya", yakni Allah meridhai mereka semua".

MUNGKINKAH KITA MASUK SURGA KARENA AMAL?

Minggu, 14 November 2010
Pertanyaan:

Apakah seorang hamba masuk surga karena amalnya?

Jawab:

Ini merupakan masalah yang sangat penting, yang telah disalahpahami oleh beberapa kelompok yang tidak memahami agama Islam secara benar. Kami katakan,

“Amal shalih seorang hamba merupakan penyebab masuk surga.”

Alloh Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan. (QS. az-Zukhruf: 72)

Dan Alloh juga berfirman:
ادْخُلُواْ الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan. (QS. an-Nahl: 32)

Huruf ب (ba’) dalam ayat di atas disebut ba’ sababiyah (yang menunjukkan arti sebab). Artinya, dengan sebab amal-amal kalian.

Adapun hadits Nabi -shallallallahu ‘alahi wa sallam- bahwa beliau bersabda:

لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ أَحَدٌ بِعَمَلِهِ قِيْلَ وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِرَحْمَتِهِ
Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya. Ditanyakan, “Sekalipun engkau wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sekalipun saya, hanya saja Alloh telah memberikan rahmat kepadaku.” (HR. Bukhari 5673, Muslim 2816)

Huruf ب (ba’) pada hadits ini disebut ba’ iwadh wal muqabalah (yang menunjukkan sebagai ganti). Seperti orang mengatakan (misalnya), “Aku membeli kitab dengan seribu rupiah.” Jadi, maksud hadits ini amal hamba itu bukanlah sebagai ganti harga surga, namun karena kemurahan, rahmat, dan karunia Alloh.

Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (8/70), muridnya –al-Hafizh Ibnul Qayyim– dalam Miftah Dar as-Sa’adah (1/119-120), al-Allamah Ibnu Abil Izzi al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Thahawiyah (hal. 438), al-Allamah Ahmad bin Ali al-Miqrizi dalam Kitab Tajrid Tauhid Mufid (hal. 108-109).
Memang, di sana ada penjelasan lainnya dalam mengkompromikan antara ayat dengan hadits di atas sebagaimana dipaparkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari (13/85-86). Silakan melihatnya.

Dan dalam masalah ini ada dua kelompok yang tersesat:
Kelompok pertama, yaitu orang-orang yang mengimani takdir tanpa mengambil sebab-sebab yang disyari’atkan serta amalan-amalan shalih sehingga mereka kufur terhadap kitab-kitab dan para rasul Alloh.
Kelompok kedua, yaitu orang-orang yang menuntut pahala dari Alloh layaknya pekerja pada majikannya, karena mereka beranggapan penuh akan kebaikan amal mereka. Kelompok ini adalah manusia-manusia jahil dan tersesat, sebab bila Alloh memerintah atau melarang hamba-Nya, itu bukan berarti Alloh butuh terhadap mereka, tetapi demi kebaikan mereka sendiri. (lihat Majmu’ Fatawa 8/71)
dijawab oleh:

Ust. Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

http://abiubaidah.com

KITA TIDAK MUNGKIN BERSATU DENGAN ALLAH!

disusun oleh

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi



A. Pengantar

Sesungguhnya membela kemurnian agama dan membantah para ahli bid’ah dengan argumen dan hujjah merupakan kewajiban yang amat mulia dan landasan utama dalam agama. Oleh karenanya, para ulama salafush shalih lebih mengutamakannya daripada ibadah sunnah, bahkan mereka menilai bahwa hal tersebut merupakan jihad dan ketaatan yang sangat utama. Imam Ahmad pernah ditanya:

“Manakah yang lebih engkau sukai, antara seorang yang berpuasa (sunnah), shalat (sunnah), dan i’tikaf dengan seorang yang membantah ahli bid’ah?” Beliau menjawab: “Kalau dia shalat dan i’tikaf maka maslahatnya untuk dirinya pribadi, tetapi kalau dia membantah ahli bid’ah maka maslahatnya untuk kaum muslimin, ini lebih utama.” [1]

Di antara para ahli bid’ah yang tidak kalah bahayanya adalah kelompok Sufiyah yang memborong sekian banyak kesesatan dan penyimpangan yang beraneka ragam, di antara sekian kesesatan mereka yang paling berbahaya adalah aqidah wahdatul([2]) wujud (Manunggaling Kawula Gusti/bersatunya Tuhan dengan hamba), sebuah aqidah yang bertentangan seratus persen dengan pokok-pokok ajaran Islam, bahkan menghancurkan persendiannya baik dalam aqidah, ibadah, akhlaq, dan sebagainya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Bangkit membantah mereka (ahli wahdatul wujud) merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah perusak akal dan agama manusia, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari jalan Alloh. Bahaya mereka terhadap agama melebihi bahaya para penjajah dunia seperti perampok dan pasukan Tatar yang hanya merampas harta tanpa merusak agama.” [3]

Mungkin sebagian kita ada yang bergumam:
“Mengapa aqidah wahdatul wujud ini harus dipermasalahkan? Bukankah aqidah itu hanya ada pada beberapa tokoh zaman dulu saja semisal Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, Ibnu Sab’in, dan sebagainya?! Bukankah aqidah itu sudah hilang dari permukaan bumi di masa kini?! Lantas mengapa perlu dibahas seperti ini?! Bukankah ini hanya sia-sia belaka?!”

Kami jawab:
“Tenanglah saudaraku! Jangan anda gegabah menilai seperti itu, bukalah mata anda lebar-lebar niscaya anda akan mengetahui (walau terkadang terselubung) betapa banyaknya pengibar bendera aqidah rusak ini di negeri kita dari para kyai, habib, penulis, aktivis, bahkan diajarkan di kuliah-kuliah agama seperti IAIN, contohnya.

Barangkali untuk lebih menenangkan hati, tidak mengapa kita nukil sebuah contoh –sekalipun hati ini sebenarnya terasa berat untuk menukilnya([4])–. Masih terngiang-ngiang di telinga saya ucapan keji Abdul Muqsith Ghazali MA, kawan Ulil Abshar dalam debat buku “Ada Pemurtadan di IAIN”,katanya:

“Anjing akbar, tidak ada yang salah dengan pernyataan itu. Apa yang salah?! Sama sekali tidak ada yang salah, Akbar Tanjung, Anjing Akbar, Sekolah Akbar. Tidak ada yang salah. Itu kalau diniati bahwa anjing itu adalah Alloh.”

Lebih lanjut, dia mengatakan:

“Kalau dia menemukan sifat jamal dan kamal (keindahan dan kesempurnaan) dalam anjing itu maka enggak salah, justru dia akan naik maqamnya (kedudukannya), seperti Ibnu Arabi([5]) dalam kitabnya Fushus Hikam([6]), dia menemukan takallufnya ketika berhubungan suami istri. Ini adalah pluralisasi penafsiran yang akan dipuji sejarah!!!”

Aduhai, alangkah persisnya hari ini dengan kemarin!! Bukankah ucapan di atas adalah warisan nenek moyang para tokoh Sufi yang sesat dan menyesatkan dahulu?!! Coba anda perhatikan ucapan seorang tokoh Sufi berikut:

وَمَا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إِلاَّ إِلَهُنَا

وَمَا اللَّهُ إِلاَّ رَاهِبٌ فِيْ كَنِيْسَةِ

Tiada anjing dan babi itu, melainkan Tuhan kita juga

Dan tiadalah Alloh itu kecuali rahib di gereja

Salah seorang sufi, Abul Husain an-Nuri tatkala mendengar anjing yang menggonggong, dia mengatakan:
“Labbaika wa Sa’daika” (Aku penuhi panggilanmu).” [7]

Maha Suci Alloh dari ucapan mereka!



Kemudian, jangan anda menyangka kalau mereka tidak memiliki argumen/dalil yang mendukung keyakinan sesat tersebut. Sungguh aneh bin ajaib memang, hampir tidak ada ahli bid’ah pun kecuali memiliki dalil untuk memperkuat kesesatan mereka. Demikian pula para penganut paham wahdatul wujud, mereka memiliki dalil –sekalipun lebih tepatnya disebut syubhat– dari al-Qur’an dan hadits untuk mendukung keyakinan tersebut, salah satunya adalah hadits wali yang akan menjadi tema bahasan kita kali ini. Namun, hal ini tak aneh kalau kita ingat ucapan Imam asy-Syathibi:

“Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat umat mengemukakan dalil dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengan dalil-dalil tersebut. Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka di atas kebenaran!!” [8]

B. Teks Hadits

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِليَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. وَمَا زَالَ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يُبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Alloh berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Apabila Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, penglihatannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dia memegang dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Apabila dia meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan melindunginya. Dan tidaklah Aku bimbang akan sesuatu seperti kebimbangan-Ku dari mencabut nyawa seorang mukmin, dia benci kematian padahal Saya tidak ingin untuk menyakitinya (tetapi itu adalah kepastian).’”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang para wali.”. [9]

Beliau juga mengatakan:
“Hadits ini sangat mulia dan merupakan hadits yang paling mulia tentang sifat wali.” [10]

Demikianlah komentar indah terhadap hadits yang menjadi topik bahasan kita kali ini. Namun hal itu bukan berarti bahwa hadits ini selamat dari serangan dan hujatan, sebab kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hadits ini mendapat kritikan dari dua segi; sanad dan matannya secara bersamaan.

Sebagian kalangan ada yang mempermasalahkannya dari segi sanadnya, dan sebagian lagi ada yang salah paham terhadap matannya. Dari situlah, kami merasa terdorong untuk membahas hadits ini dari segi sanad dan matannya serta meluruskan kesalahpahaman tersebut. Semoga Alloh menjadikan kita semua termasuk wali-wali-Nya.



C. Sanad Hadits

Sebagian kalangan ada yang mengkritik hadits ini dari sanadnya, di mana memang pada sanadnya terdapat rawi yang dibicarakan oleh para ulama ahli hadits, yaitu Khalid bin Makhlad. [11]

Jawaban:([12])

Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya (6502), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (1/4), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (1248), Abul Qasim al-Mahrawani dalam al-Fawa’id al-Muntakhabah ash-Shihah (1/3/2), Ibnul Hamami ash-Shufi dalam Muntakhab min Masmu’atihi (1/171), dan ketiganya menyatakan shahih, Rizqullah al-Hanbali dalam Ahadits min Masmu’atihi (1/2), Yusuf bin Hasan an-Nabilsi dalam Ahadits as-Sittah al-Iraqiyyah (1/26), al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa Shifat (491) dan az-Zuhud (2/83) dari jalan Khalid bin Makhlad: Menceritakan kami Sulaiman bin Bilal: Menceritakanku Syarik bin Abdullah bin Abu Nimr dari Atha’ dari Abu Hurairah…
Sanad hadits ini lemah, dia termasuk beberapa hadits sedikit yang dikritik oleh para ulama terhadap Bukhari. Adz-Dzahabi mengatakan pada biografi Khalid bin Makhlad al-Qathawani setelah menyebutkan komentar para ulama ahli hadits tentangnya: “Hadits ini aneh sekali. Seandainya bukan karena kewibawaan Jami’us Shahih (Shahih Bukhari), niscaya saya akan memasukkannya termasuk munkarat Khalid bin Makhlad, sebab lafazhnya aneh dan ditambah lagi Syarik sendirian dalam riwayatnya padahal dia bukan seorang yang pakar…”
Ucapan ini dinukil secara ringkas oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11/292-293) lalu katanya: “Namun hadits ini memiliki beberapa jalur lain yang dengan terkumpulnya menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya.” Kemudian beliau menyebutkan delapan jalur penguat.
Syaikh al-Muhaddits al-Albani berkomentar dalam ash-Shahihah (4/185-186): “Demikianlah ucapan al-Hafizh. Beliau telah memaparkannya secara panjang lebar. Hal itu sangat wajar, sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bukanlah suatu hal yang mudah untuk mencela keabsahannya hanya karena kelemahan pada sanadnya, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki beberapa penguat yang menguatkan dan mengangkatnya. Nah, apakah hadits ini termasuk di antaranya? Al-Hafizh telah memaparkan delapan penguat dan menetapkan bahwa dengan terkumpulnya jalan-jalan tadi menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya.
Menimbang, karena termasuk syarat diterimanya penguat adalah tidak terlalu lemah sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dalam ilmu musthalah hadits, sehingga kalau terlalu lemah maka tidak bisa terangkat; dan juga harus sempurna, sehingga kalau tidak sempurna pun tidak diterima, maka kita harus meneliti dalam beberapa penguat ini, apakah memenuhi dua persyaratan tersebut ataukah tidak.”
Setelah membahas secara panjang lebar, beliau menyimpulkan di akhir bahasan (4/190): “Kesimpulannya, kebanyakan penguat ini tidak bisa menguatkan hadits ini, ada yang karena sangat lemahnya dan ada pula karena ringkasnya (tidak sempurna), kecuali mungkin hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, di mana kalau keduanya digabungkan dengan sanad hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ini maka bisa terangkat kepada derajat shahih, insya Alloh. Dan telah dishahihkan oleh para ulama yang telah saya sebutkan di muka.”
Barangsiapa yang ingin memperluas takhrij hadits ini, kami sarankan membaca Silsilah Ahadits ash-Shahihah (4/183-193) oleh al-Albani, karena beliau telah memaparkan jalur-jalurnya dengan pembahasan yang jarang didapati di kitab lainnya.([13])

D. Matan Hadits([14])

Sebagian kalangan dari kaum Sufi berdalil dengan hadits ini untuk memperkuat aqidah rusak mereka yaitu “wahdatul wujud”, bahwa Tuhan bersatu dengan hamba, sebab Alloh mengkhabarkan bahwa dirinya adalah pendengaran hamba, penglihatannya, tangannya, dan kakinya. [15]

Jawaban:

Hadits ini tidak mendukung aqidah mereka secuil pun, bahkan sebaliknya malah membantah aqidah mereka([16]) ditinjau dari beberapa segi:

1| Alloh mengatakan: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya.” Dalam hadits ini Alloh menetapkan tiga wujud: diri-Nya, wali-Nya, musuh-Nya. Maka bagaimana kalian jadikan mereka satu dzat saja?!

2| Alloh mengatakan: “Tidaklah hamba-Ku melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintainya.”

Jadi Alloh menetapkan adanya hamba yang mendekatkan diri kepada Alloh dengan kewajiban dan sunnah dan bahwasanya dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya sehingga Alloh mencintainya. Hal itu menunjukkan adanya hamba dan Rabb, Yang mencintai dan yang dicintai, yang beribadah dan Yang diibadahi. Lantas bagaimana kalian jadikan keduanya satu dzat saja?!
3| Alloh mengatakan: “Apabila Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya…”

Kecintaan ini diraih oleh hamba setelah dia mendekatkan diri kepada Alloh dan setelah Alloh mencintainya. Adapun menurut keyakinan wahdatul wujud bahwa Alloh adalah hamba itu sendiri, baik setelah mendekatkan diri maupun sebelumnya.
4| Dalam hadits ini Alloh mengkhususkan keutamaan tersebut bagi wali-Nya tetapi dalam pandangan wahdatul wujud hal itu umum mencakup seluruh makhluk baik wali maupun musuh Alloh. Kalau demikian masalahnya, lantas apa keistimewaan wali?!

5| Dalam hadits ini Alloh hanya menyebut pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki, tetapi mereka memperluasnya meliputi perut, paha, hidung dan sebagainya.

6| Di akhir hadits, Alloh berfirman: “Kalau dia meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan melindunginya.” Hal ini sangat jelas bahwa di sana ada yang meminta dan ada Yang dimintai, ada yang meminta perlindungan dan ada Yang dimintai perlindungan. Semua ini berseberangan dengan aqidah wahdatul wujud.

Adapun makna hadits ini yang benar:
Sesungguhnya seorang hamba, apabila dia menunaikan perkara yang diwajibkan Alloh padanya kemudian berusaha menambahinya dengan perkara-perkara sunnah dengan segala kemampuannya, niscaya Alloh akan mencintainya dan menolongnya dalam segala urusannya, kalau dia mendengar maka dia pendengarannya mendapatkan bimbingan Alloh sehingga tidak mendengar kecuali kebaikan, tidak menerima kecuali kebenaran dan menolak kebatilan. Dan apabila dia memandang dengan penglihatannya, dia memandang dengan cahaya dan hidayah dari Alloh, sehingga dia memandang kebenaran dan mengikutinya, dan memandang kebatilan dan menjauhinya. Demikian pula apabila dia berjalan, maka dia berjalan dengan bimbingan Alloh sehingga dia berjalan dalam ketaatan kepada Alloh seperti mencari ilmu, jihad, dakwah, silaturrahmi dan sebagainya.

Walhasil, seluruh amalannya, kekuatannya, dan anggota badannya dalam hidayah Alloh, penjagaan-Nya dan taufiq-Nya. [17]

Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila kecintaan dan pengagungan kepada Alloh memenuhi hati seorang hamba maka setiap apa pun selain-Nya akan terhapus dari hatinya, sehingga tidak tersisa pada diri hamba sesuatu pun dari hawa dan keinginannya kecuali sesuai dengan apa yang dicintai Alloh. Ketika itulah dia tidak berucap kecuali dengan mengingat-Nya, tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya, bila dia berbicara, berjalan, mendengar, melihat semuanya dengan bimbingan dari Alloh. Inilah maksud dari sabda beliau: ‘Aku adalah pendengarannya, pandangannya, tangannya, dan kakinya.’ Siapa pun yang menafsirkan selain ini, maka sesungguhnya dia mengisyaratkan kepada aqidah hulul dan wahdatul wujud yang Alloh dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.”[18]
Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: “Semua perumpamaan yang digambarkan oleh Nabi ini maksudnya adalah –Wallohu A’lam– bahwa Alloh memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan dengan anggota badannya tersebut, yakni Alloh memudahkannya dengan anggota badan tersebut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dicintai oleh Alloh dan menjaganya dari terjerumus kepada perbuatan yang dibenci Alloh berupa mendengarkan ucapan batil dan sia-sia dengan pendengarannya, memandang hal yang haram dengan matanya, berjalan menuju keharaman dengan kakinya. Atau bisa jadi maksud hadits ini adalah lekasnya terkabulkannya do’a wali sebab usaha manusia itu adalah dengan empat anggota tubuh tersebut.” [19]
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berkata: “Seorang yang sedikit saja memiliki bekal ilmu bahasa Arab tidak akan memahami bahwa maksud hadits ini bahwa Alloh adalah pendengaran manusia, penglihatannya, tangan, dan kakinya. Maha Suci Alloh dari ucapan mereka. Tetapi maksudnya adalah bahwa Alloh memberikan taufiq kepada para wali-Nya dalam setiap gerakan mereka disebabkan ketaatan mereka kepada-Nya.” [20]Demikianlah makna hadits ini secara benar sebagaimana dipahami oleh para ulama ahli hadits semenjak dahulu hingga sekarang. Peganglah ucapan mereka dan cukuplah hal itu sebagai pedoman bagi kita.
إِذَا قَالَتْ حَذَامِ فَصَدِّقُوْهَا

فَإِنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَتْ حَذَامِ

Apabila Hadhami[21] berucap maka benarkanlah

Karena kebenaran pada dirinya.



E. Fawa’id Hadits([22]) [Pelajaran yang Bisa Dipetik]

Hadits ini memiliki banyak faedah. Al-Hafizh asy-Syaukani menulis kitab khusus tentang penjelasan hadits ini berjudul Qathrul Walyi bi Syarhi Hadits Wali. Di antara faedah yang dapat dipetik dari hadits ini sebagai berikut:

1| Keutamaan para wali (kekasih) Alloh

Tetapi siapakah yang disebut wali Alloh?! Mereka adalah setiap hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Alloh, sebagaimana firman-Nya, yang artinya:

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih. (Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertaqwa.

(QS. Yunus [10]: 62-63)

2| Sifat utama wali Alloh

Sifat mereka adalah melaksanakan kewajiban dan menambahinya dengan perkara sunnah. Oleh karenanya, jangan tertipu dengan penampilan para wali gadungan dari para tukang sihir dan penyimpang yang doyan kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, sekalipun mereka menampakkan kedigdayaan dan keluarbiasaan, sebab semua itu adalah tipu daya setan.

إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا يَطِيْرُ

وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ قَدْ يَسِيْرُ

وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُوْدِ الشَّرْعِ

فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ بِدْعِيْ

Bila engkau lihat seorang dapat terbang

Dan berjalan di atas lautan

Padahal dia tidak menaati tatanan syari’at

Maka ketahuilah bahwa dia ahli bid’ah yang dimanja.

3| Bahaya menyakiti para wali

Menyakiti para wali Alloh merupakan dosa besar, sebab Alloh menyatakan perang terhadapnya. Maka celakalah orang-orang yang mencela para nabi([23]), para sahabat nabi, dan para ulama salafush shalih.([24])

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.

(QS. al-Ahzab [33]: 58)

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya (4/481):

“Barisan yang pertama kali masuk dalam ancaman ayat ini adalah orang-orang yang kafir kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian kaum Rafidhah (Syi’ah) yang biasa mencela para sahabat dan menuduh mereka yang bukan-bukan serta menyifati mereka berlainan tajam dengan sifat yang diberikan Alloh kepada mereka, di mana Alloh memuji mereka dan mengkhabarkan bahwa Dia telah ridha kepada kaum Muhajirin dan Anshar, tetapi orang-orang jahil dan tolol itu mencela dan menghina mereka, dan menuduh mereka yang bukan-bukan. Sungguh mereka adalah manusia yang terbalik hatinya, mencela manusia terpuji dan memuji manusia tercela.”

4| Menetapkan “perang” bagi Alloh

Alloh telah menyebutkan juga tentang riba, yang artinya:

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Alloh dan rasul-Nya akan memerangimu.“

(QS. al-Baqarah [2]: 279)

5| Menetapkan sifat “cinta” bagi Alloh.

6| Perintah Alloh terbagi menjadi dua, ada yang wajib dan ada yang sunnah.

7| Anjuran memperbanyak amalan sunnah.

8| Banyak mengamalkan perkara sunnah merupakan sebab kecintaan Alloh.

9| Sesungguhnya Alloh apabila mencintai seorang hamba, maka Alloh akan mengabulkan do’anya dan memenuhi permintaannya.

10| Seorang hamba akan merasakan dekat kepada Alloh ketika dia beramal shalih.

Demikianlah pembahasan kita kali ini, kami mengajak diri kami dan saudara kami untuk mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh, semoga Alloh menjadikan kita semua termasuk wali-wali-Nya. Amiin.

artikel: [www.abiubaidah.wordpress.com ]

.

Catatan kaki:
[1] Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 28/131.

[2] Demikianlah yang lebih tepat dalam bahasa Arab, dengan memfathah huruf wawu, sekalipun yang lebih populer adalah wihdatul wujud, dengan mengkasrah wawu.

[3] Majmu Fatawa 2/132.

[4] Dalam bahasa Arab ada sebuah kata hikmah “Mukrahun Akhuka La Bathal” (Saudaramu terpaksa, padahal sebenarnya dia tidak berani), sebagaimana dalam Majma’ Amtsal (hal. 274) oleh al-Maidani. Imam as-Suyuthi juga pernah mengatakan:

“Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Alloh merahmatimu– bahwa di antara ilmu ada yang seperti obat, dan di antara pendapat ada yang seperti tempat buang hajat yang tidak diingat kecuali ketika dibutuhkan saja.” (Miftahul Jannah hal. 5)

[5] Dia adalah seorang dedengkot Sufi, pengibar bendera wahdatul wujud (wafat 638 H). Dia mempunyai berbagai pemikiran kufur. Oleh karenanya, para ulama menganggapnya sesat bahkan tak sedikit yang mengkafirkannya. Syaikh Burhanuddin al-Biqa’i (885 H) menulis sebuah kitab berjudul Tanbih al-Ghabiyyi ’ala Takfir Ibni Arabi sebanyak 241 halaman. Dalam kitab tersebut, beliau menukil ±50 ulama yang mengkafirkan atau minimal menganggapnya sesat; di antaranya:

al-Izz bin Abdussalam,
Ibnu Daqiq al-’Ied,
Ibnu Shalah,
al-Hafizh Ibnu Hajar,
al-Bulqini,
al-Iraqi,
Abu Zur’ah al-Iraqi,
al-’Aini, adz-Dzahabi,
Badruddin bin Jama’ah,
al-Jazari,
Ibnu Hisyam,
as-Subki,
Abu Hayyan,
dan lainnya. (Lihat pula Mashra’ Tashawwuf hal. 138-168 oleh Burhanuddin al-Biqa’i dan ar-Radd ’ala ar-Rifa’i wa al-Buthi hal. 111-113 oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad)
[6] Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lamin Nubala’ (23/48):

“Di antara karya tulisnya (Ibnu Arabi) yang paling jelek adalah kitab Fushus, sebab kalau di dalamnya itu bukan kekufuran, maka tidak ada kekufuran di dunia ini. Kita memohon kepada Alloh ampunan dan keselamatan.”

Ismail Abul Fida’ dalam kitabnya Akhbar Basyar (4/79) menyebutkan: “Pada tahun 744 H, kami merobek kitab Fushus Hikam karya Muhyiddin Ibnu Arabi di madrasah ’Ushfuriyah di kota Halab usai pelajaran sebagai peringatan akan haramnya menelaah dan memiliki kitab tersebut. Saya berkata tentangnya:

Ini adalah Fushus (batu mata cincin) yang tiada berharga

Saya telah membaca ukirannya tetapi pahalanya ada pada sebaliknya.

(Lihat pula Kutub Hadzara Minha al-Ulama 1/37 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).

Anehnya, kitab ini telah disyarah oleh kurang lebih seratus lebih ulama Sufi, tiga di antara mereka adalah murid-murid Ibnu Arabi sendiri!! (Lihat Muallafat Ibnu Arabi hal. 479 oleh Utsman Yahya, Aqidah Shufiyyah hal. 158 oleh DR. Ahmad bin Abdul Aziz)

[7] al-Luma’ fi Tashawwuf hal. 461 oleh Abdullah ath-Thusi, tahqiq Abdul Halim Mahmud, sebagaimana dalam ar-Rudud Ilmiyyah fi Dahdzi Abathil Shufiyyah hal. 266 oleh DR. Muhammad bin Ahmad al-Juwair.

[8] al-Muwafaqat 3/52.


[9] al-Furqan baina Auliya’ Rahman wa Auliya’ Syaithan hal. 50.

[10] Majmu’ Fatawa 18/129.

[11] Lihat Mizan I’tidal 1/64 adz-Dzahabi: biografi Khalid bin Makhlad, Jami’ul Ulum wal Hikam 2/330-331 Ibnu Rajab, Tafsir al-Manar Rasyid Ridha: surat Yunus [10]: 62-63, as-Sunnah Nabawiyyah Muhammad Ghazali: hal. 77 cet. Keenam.

[12] Diringkas dari Silsilah Ahadits ash-Shahihah (4/184-190/no.1640) oleh al-Muhaddits al-Albani.

[13] Dan hal ini merupakan salah satu bukti di antara banyak bukti pembelaan dan penghormatan Syaikh al-Albani terhadap Shahih Bukhari-Muslim, berbeda dengan anggapan sebagian kalangan. Lihat uraian penulis tentang masalah ini secara agak luas dalam bukunya “Syaikh al-Albani Dihujat” hal. 75-80. Semoga Allah memudahkan kami untuk mencetak ulang buku ini kembali.

[14] Dinukil dengan beberapa tambahan dari kitab Aqidah Shufiyyah Wihdatul Wujud Khafiyyah (hal. 564-566) oleh DR. Ahmad bin Abdul Aziz al-Qushayyir, cet. Maktabah ar-Rusyd.

[15] Lihat Fushus Hikam hal. 189 Ibnu Arabi, Thabaqat Kubra 2/24 asy-Sya’rani, Syarh Fushus Hikam 1/19 al-Qaishari, Iqadhul Himam hal. 52 Ibnu Ajibah, Syarh Jawahir Nushus hal. 47 an-Nabilisi.

[16] Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

“Setiap ayat yang digunakan oleh ahli bid’ah maka pada ayat itu sendiri terdapat dalil yang membantah ucapannya, dan setiap dalil akal yang digunakan oleh ahli bid’ah maka pada dalil itu sendiri terdapat dalil yang menunjukkan kerusakan ucapannya.” (Lihat al-Aqud ad-Durriyyah hal. 39 oleh muridnya, Ibnu Abdil Hadi)

[17] Lihat Majmu’ Fatawa 2/341 Ibnu Taimiyah, ad-Da’ wa Dawa’ hal. 315-319 Ibnul Qayyim, Fathul Bari 11/344 Ibnu Hajar, Qathrul Walyi bi Syarhi Hadits Wali hal. 428-429 asy-Syaukani, Fatawa Lajnah Da’imah 3/158, Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 1/257-258.

[18] Jami’ul Ulum wal Hikam 2/347.

[19] Syarh Sunnah, al-Baghawi, 5/20.

[20] Majmu’ Fatawa wa Maqalat 3/66-67.


[21] Hadzami adalah nama wanita, istri seorang penyair. Makna bait ini:

“Wanita ini dalam setiap ucapannya selalu benar, sehingga apabila dia mengatakan suatu ucapan maka ketahuilah bahwa itu adalah ucapan yang paten, tidak boleh diselisihi, kalian harus membenarkannya dan meyakini ucapannya.” (Sabilul Huda bi Tahqiq Syarh Qathr Nada, Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, hal. 35).
Dialah yang digelari dengan Zarqa’ Yamamah, yang konon ceritanya dapat melihat sesuatu yang jaraknya sejauh perjalanan tiga hari dengan mata kepalanya. Dan ketika dia terbunuh, dilihat ternyata pangkal matanya penuh dengan celak mata Itsmid. (Lihat Khizanatul Adab oleh al-Baghdadi 10/255 dan Syarh Mumti’ 1/157 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
[22] Dinukil –dengan beberapa tambahan– dari Syarh Arba’in Nawawiyyah (hal. 409-412) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

[23] Beberapa bulan lalu, kita dibuat heboh oleh kelakuan jahat beberapa warga Denmark yang menampilkan gambar karikatur Nabi Muhammad yang penuh dengan bom dan rudal di kepalanya. Tapi yakinlah bahwa hal itu adalah pertanda kehancuran mereka sendiri, sebab Alloh telah berjanji untuk menghancurkan orang-orang yang merendahkan beliau (QS. al-Kautsar [108]: 3).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya ash-Sharimul Maslul (hal. 165): “Setiap orang yang melecehkan Nabi, membencinya, dan memusuhinya, maka Alloh pasti membinasakannya dan melenyapkannya.” Salah satu yang telah terbukti, baru beberapa hari kemudian dari ulah perbuatan mereka, negara Denmark langsung mengalami kerugian besar dalam perekonomiannya disebabkan pemboikotan negara-negara Islam terhadap produk-produknya!! Maha Benar Alloh.
[24] Alangkah indah ucapan Imam Syafi’i:

“Kalau para ulama bukan wali Alloh, maka saya tidak tahu siapakah mereka?” Oleh karenanya, barangsiapa yang merendahkan dan mencela para ulama Sunnah, maka dia berada di ambang kehancuran.

Imam Ibnu Asakir berkata dalam Tabyin Kadzib al-Muftari (hal. 29): “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa daging para ulama –semoga Alloh merahmati mereka– beracun. Alloh pasti menyingkap tirai para pencela mereka, karena menuduh dan menodai kehormatan mereka merupakan perbuatan dosa besar.”

DAJJAL, IMAJINASI ATAU FAKTA?

disusun oleh

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

I. Pengantar

Sejenak, marilah kita alihkan perhatian kita untuk menyorot ke arah aqidah mayoritas para ilmuwan, aktivis dakwah dan tokoh Islam saat ini, dimana mereka sudah sampai pada taraf yang sangat memprihatinkan. Contoh mudah saja, keraguan mereka terhadap keluarnya Dajjal di akhir zaman, bahkan pengingkaran secara terus terang. Bagi kami, hal itu tak aneh, lantaran sejak beberapa abad lampau Umar bin Khaththab pernah menginformasikan:

أَلاَ وَإِنَّهُ سَيَكُوْنُ مِنْ بَعْدِكُمْ قَوْمٌ يُكَذِّبُوْنَ بِالرَّجْمِ وَالدَّجَّالِ وَبِالشَّفَاعَةِ وَبِعَذَابِ الْقَبْرِ وَبِقَوْمٍ يُخْرَجُوْنَ مِنَ النَّارِ بَعْدَمَا امْتَحَشُوْا

Ketahuilah bahwa akan ada suatu kaum setelah kalian yang mendustakan hukum rajam, Dajjal, syafa’at, siksa kubur dan dikeluarkannya suatu kaum dari neraka setelah hitam kelam.[1]



Ironisnya, mereka menyuntikkan racun dan penyakit tersebut kepada orang-orang yang tidak memiliki akar agama Islam yang kuat dari kalangan para pemuda dan masyarakat awam, baik melalui tulisan maupun lisan, dengan bumbu berbagai syubhat kropos yang sekilas nampaknya ilmiah, proporsional dan rasional.

Melihat fenomena di atas, hamba yang lemah ini mendorong hatinya dan mengangkat pena-nya untuk menyoal masalah ini dan menyingkap tirai syubhat yang menyelubunginya sekalipun dalam kajian yang relatif singkat. Semoga Allah meneguhkan kita semua di atas jalan-Nya dan melindungi kita dari berbagai fitnah yang melanda di sekitar kita.

.

II. URGENSI TOPIK TENTANG DAJJAL

Sebuah realita nyata yang amat disayangkan dan perlu diluruskan bahwa sedikit sekali diantara para khatib dan penceramah pada zaman sekarang yang membahas dan memperbincangkan masalah Dajjal -apalagi masyarakat awam-. Hal ini merupakan bukti kebenaran hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:

لاَ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ حَتَّى يَذْهَلَ النَّاسُ عَنْ ذِكْرِهِ وَحَتَّى تَتْرُكَ الأَئِمَّةُ ذِكْرَهُ عَلَى الْمَنَابِرِ

Dajjal tidak akan keluar sehingga manusia lupa mengingatnya dan para imam tidak menyampaikan tentangnya di atas mimbar. [2]

Begitu pentingnya bahasan Dajjal dan begitu dahsat fitnahnya, sehingga bukan hanya disebutkan oleh Nabi Muhammad saja, tetapi setiap para Nabi semenjak dahulu juga telah memperingatkan kaum mereka dari Dajjal.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Tidak ada seorang nabipun kecuali telah memperingatkan kaumnya dari Dajjal yang buta. Ketahuilah bahwa Dajjal itu buta sedangkan Rabb kalian tidaklah buta dan Dajjal tertulis antara kedua matanya “Kafir”. [3]

Demikian juga para ulama sepanjang masa, sehingga Abdur Rahman al-Muharibi pernah berkata setelah meriwayatkan suatu hadits berkaitan tentang Dajjal:

يَنْبَغِيْ أَنْ يُدْفَعَ هَذَا الْحَدِيْثُ إِلَى الْمُؤَدِّبِ حَتَّى يُعَلِّمَهُ الصِّبْيَانَ فِيْ الْكُتَّابِ

Hendaknya hadits ini diserahkan kepada seorang pendidik agar dia mengajarkannya kepada anak-anak dalam dunia kurikulum. [4]

As-Saffarini berkata:

“Hendaknya bagi setiap alim untuk menebarkan hadits-hadits tentang Dajjal terhadap anak, istri dan kaum lelaki…” hingga beliau berkata: “Lebih-lebih pada zaman kita sekarang, dimana fitnah dan ujian begitu banyak nan bertubi-tubi, ilmu-ilmu sunnah begitu luntur, perkara sunnah dianggap sebagai bid’ah dan perkara bid’ah dianggap sebagai syari’at yang diikuti. Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billahi Aliyyil Azhim”. [5]

.

III. TEKS HADITS
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: غَيْرُ الدَّجَّالِ أَخْوَفُنِيْ عَلَيْكُمْ, إِنْ يَخْرُجْ وَأَنَا فِيْكُمْ فَأَنَا حَجِيْجُهُ دُوْنَكُمْ, وَإِنْ يَخْرُجْ وَلَسْتُ فِيْكُمْ فَامْرُؤٌ حَجِيْجُ نَفْسِهِ, وَاللهُ خَلِيْفَتِيْ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ, إِنَّهُ شَابٌّ قَطَطٌ عَيْنُهُ طَافِئَةٌ كَأَنِّيْ أُشَبِّهُهُ بِعَبْدِ الْعُزَّى بْنِ قَطَنٍ, فَمَنْ أَدْرَكَهُ مِنْكُمْ فَلْيَقْرَأْ عَلَيْهِ فَوَاتِحَ سُوْرَةِ الْكَهْفِ, إِنَّهُ خَارِجٌ خَلَّةً بَيْنَ الشَّامِ وَالْعِرَاقِ فَعَاثَ يَمِيْنًا وَعَاثَ شِمَالاً, يَا عِبَادَ اللهِ فَاثْبُتُوْا. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ, وَمَا لَبْثُهُ فِيْ الأَرْضِ؟ قَالَ: أَرْبَعُوْنَ يَوْمًا, يَوْمٌ كَسَنَةٍ وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ, قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَذَلِكَ الْيَوْمٌ الَّذِيْ كَسَنَةٍ أَتَكْفِيْنَا فِيْهِ صَلاَةُ يَوْمٍ؟ قَالَ: لاَ اقْدُرُوْا لَهُ قَدْرَهُ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ, وَمَا إِسْرَاعُهُ فِيْ الأَرْضِ؟ قَالَ: كَالْغَيْثِ اسْتَدْبَرَتْهُ الرِّيْحُ فَيَأْتِيْ عَلَى الْقَوْمِ فَيَدْعُوْهُمْ فَيُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَيسْتَجِيْبُوْنَ لَهُ فَيَأْمُرُ السَّمَاءَ فَتُمْطِرُ وَالأَرْضَ فَتُنْبِتُ فَتَرُوْحُ عَلَيْهِمْ سَارِحَتُهُمْ أَطْوَلَ مَا كَانَتْ ذُرًّا وَأَسْبَغَهُ ضُرُوْعًا وَأَمَدَّهُ خَوَاصِرَ, ثُمَّ يَأْتِيْ الْقَوْمَ فَيَدْعُوْهُمْ فَيَرُدُّوْنَ عَلَيْهِ قَوْلَهُ فَيَنْصَرِفُ عَنْهُمْ فَيُصْبِحُوْنَ مُمْحِلِيْنَ لَيْسَ بِأَيْدِيْهِمْ شَيْءٌ مِنْ أَمْوَالِهِمْ, وَيَمُرُّ بِالْخِرْبَةِ فَيَقُوْلُ لَهَا: أَخْرِجِيْ كُنُوْزَكِ, فَتَتْبَعُهُ كُنُوْزُهَا كَيَعَاسِيْبِ النَّحْلِ. ثُمَّ يَدْعُوْ رَجُلاً مُمْتَلِئًا شَبَاباً فَيَضْرِبُهُ بِالسَّيْفِ فَيَقْطَعُهُ جَزِلْتَيْنِ رَمْيَةَ الْغَرَضِ ثُمَّ يَدْعُوْهُ فَيُقْبِلُ وَيَتَهَلَّلُ وَجْهُهُ يَضْحَكُ, فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ بَعَثَ اللهًُ الْمَسِيْحَ بْنَ مَرْيَمَ فَيَنْزِلُ عِنْدَ الْمَنَارَةِ الْبَيْضَاءِ شَرْقِيَّ دِمْشَقَ بَيْنَ مَهْرُوْدَتَيْنِ وَاضِعًا كَفَّيْهِ عَلَى أَجْنِحَةِ مَلَكَيْنِ, إِذَا طَأْطَأَ رَأْسَهُ قَطَرَ وَإِذَا رَفَعَهُ تَحَدَّرَ مِنْهُ جُمَانٌ كَاللُّؤْلُؤِ, فَلاَ يَحِلُّ لِكَافِرٍ يَجِدُ رِيْحَ نَفَسِهِ إِلاَّ مَاتَ وَنَفَسُهُ يَنْتَهِيْ حَيْثُ يَنْتَهِيْ طَرْفُهُ فَيَطْلُبُهُ حَتَّى يُدْرِكَهُ بِبَابِ لُدٍّ فَيَقْتُلُهُ…

Dari Nawwas bin Sam’an radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: Selain Dajjal lebih menakutkanku atas kalian, seandainya dia keluar dan saya di tengah-tengah kalian, maka sayalah yang akan menghadapinya, tetapi apabila dia keluar sedangkan saya tidak ada di tengah-tengah kalian, maka masing-masing orang mengurus dirinya sendiri, Allah penolong setiap muslim. Dajjal adalah pemuda berambut keriting, matanya buta, seakan diriku memperumpakannya dengan Abdul Uzza bin Qathn. Barangsiapa diantara kalian menjumpainya, maka hendaknya membacakan padanya awal-awal surat Al-Kahfi, dia keluar di jalan antara Syam dan Iraq lalu membuat kerusakan di kanan dan kiri. Wahai hamba Allah, tetap kokhlah kalian! Kami bertanya: Hai Rasulullah, berapa lama dia tinggal di bumi? Nabi menjawab: Empat puluh hari, sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sepekan kemudian hari berikutnya seperti hari-hari biasa. Kami bertanya: Wahai rasulullah, hari seperti setahun tadi apakah cukup bagi shalat sehari? Jawabnya: Tidak, perkirakanlah waktunya!. Kami bertanya lagi: Wahai rasulullah, bagaimana kecepatannya di atas bumi? Beliau menjawab: Seperti hujan yang dihembuskan oleh angin. Kemudian dajjal mendatangi suatu kaum lalu mereka percaya dan mendukungnya, maka dia memerintahkan langit untuk menurunkan air hujan sehingga turun hujan dan tanah untuk menumbuhkan tanaman dan tumbuh. Dia lalu mendatangi suatu kaum dan mereka menolak kemudian dia berpaling, akhirnya mereka paceklik tidak memiliki harta sedikitpun, dia melewati tempat reruntuhan seraya berkata: Keluarkan perbendaharaanmu, maka keluarlah perbendaharaanya seperti buah kurma. Lalu dia memanggil seorang pemuda dan memukunya dengan pedang menjadi dua bagian seukuran lemparan panah kemudian memanggilnya lagi dan pemuda tersebut bangun dengan wajah berseri-seri sambil tertawa.

.

HADITSNYA MUTAWATIR

Hadits-hadits tentang keluarnya Dajjal di akhir zaman mencapai derajat mutawatir. Hampir seluruh kitab-kitab hadits dan aqidah mencantumkan pembahasan tentangnya. Diantara para pakar ahli hadits yang menegaskan mutawatirnya adalah

Imam adz-Dzahabi[6],
Ibnu Katsir dalam an-Nihayah 1/148,
Asy-Syaukani dalam At-Taudhih fi Tawaturi Maa Jaa fil Muntadhar wad Dajjal wal Masih[7],
Al-Munawi dalam Faidhul Qodir 3/660,
Al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 240-241,
Syaikh Abdur Rahman bin Yahya al-Mu’allimi dalam Al-Anwar Al-Kasyifah hal. 233,
Lembaga Riset Dakwah dan Fatwa Saudi Arabia[8] dalam Fatawa Lajnah Daimah 3/146,
Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah 1/297,
Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I dalam Rudud Ahli Ilmu hal. 25.
“Demikian pula, para ulama lainnya yang menegaskan tentang mutawatirnya hadits tentang turunnya Isa bin Maryam, karena hal itu berkonsekunsi menegaskan mutawatirnya hadits tentang Dajjal, sebab jalur-jalur haditsnya lebih banyak sebagaimana tidak samar bagi orang yang menggeluti ilmu hadits yang mulia ini”.[9]

Syaikh Al-Allamah Al-Muhaddits al-Albani berkata:

“Cukuplah akan hal itu kesepakatan para ulama pakar ahli hadits tentang mutawatirnya hadits-hadits seputar Dajjal dan turunnya Isa dari langit seperti al-Hafizh Ibnu Katsir, Ibnu Hajar dan selainnya, bahkan Imam as-Syaukani menulis sebuah risalah khusus berjudul At- Taudhih fi Tawaturi Maa Jaa fil Muntadhar wad Dajjal wal Masih.

Saya pribadi telah yakin dengan mutawatirnya hadits-hadits tentang Dajjal dan turunnya Isa ‘alahi sallam. Saya telah berhasil mengumpulkan lebih dari empat puluh jalur sanad dari empat puluh sahabat. Berikut beberapa nama para sahabat (tidak semua disebutkan-ed) yang meriwayatkan hadits-hadits tentang Dajjal:

Hisyam bin Amir,
Abdullah bin Mughaffal,
Hudzaifah bin Yaman,
Jabir bin Abdullah,
Abdullah bin Umar,
Anas bin Malik,
Abu Hurairah,
Nawwas bin Sam’an,
Nafir bin Malik,
Aisyah,
Ummu Salamah,
sebagian sahabat Nabi,
Ubadah bin Shamit,
Abdullah bin Abbas,
Abu Bakrah ats-Tsaqafi,
seorang sahabat Nabi,
Safinah,
Abu Sa’id Al-Khudri,
Fathimah binti Qais,
Ummu Syarik,
Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin ‘Amr,
Abu Umamah,
Sa’ad bin Waqqash,
Abdullah bin Maghnam,
Asma’ binti Yazid al-Anshariyah,
Mihjan bin Al-Adra’,
Utsman bin Abul ‘Ash,
Samurah bin Jundub,
Mujammi’ bin Jariyah,
Asma’ binti ‘Umais.
Sengaja saya memaparkan nama-nama tersebut agar jelas bagi orang yang memiliki pandangan bahwa hadits-hadits tentang Dajjal adalah mutawatir. Barangsiapa yang ragu tentang hal itu, dia tergolong orang yang ragu dalam agama secara keseluruhan”. [10]
Dalam Ta’liq Syarh Aqidah Thohawiyyah hal. 501, Syaikh al-Albani mengatakan suatu perkataan yang sangat berharga sekali, berikut teks ucapan beliau berikut artinya:
وَاعْلَمْ أَنَّ أَحَادِيْثَ الدَّجَّالِ وَنُزُوْلِ عِيْسَى مُتَوَاتِرَةٌ يَجِبُ الإِيْمَانُ بِهَا وَلاَ تَغْتَرَّ بِمَنْ يَدَّعِيْ فِيْهَا أَنَّهَا أَحَادِيْثُ آحَادٌ فَإِنَّهُمْ جُهَّالٌ بِهَذَا الْعِلْمِ وَلَيْسَ فِيْهِمْ مَنْ تَتَبَّعَ طُرُقَهَا وَلَوْ فَعَلَ لَوَجَدَهَا مُتَوَاتِرَةً كَمَا شَهِدَ بِذَلِكَ أَئِمَّةُ هَذَا الْعِلْمِ كَالْحَافِظِ ابْنِ حَجَرٍ وَغَيْرِهِ. وَمِنَ الْمُؤْسِفِ حَقًّا أَنْ يَتَجَرَّأَ الْبَعْضُ عَلَى الْكَلاَمِ فِيْمَا لَيْسَ مِنْ اخْتِصَاصِهِمْ, لاَ سِيَّمَا وَالأَمْرُ دِيْنٌ وَعَقِيْدَةٌ.

Ketahuilah bahwa hadits-hadits tentang Dajjal dan turunnya Isa bin Maryam telah mencapai derajat mutawatir yang wajib diimani. Janganlah anda tertipu dengan anggapan sebagian kalangan yang menyatakan bahwa haditsnya hanyalah ahad sebab mereka adalah manusia yang jahil tentang ilmu hadits. Tak ada dari kalangan mereka yang mau menelitinya. Seandainya mereka benar-benar mau menelitinya, niscaya mereka akan mendapatinya mutawatir sebagaimana ditegaskan oleh para pakar ilmu hadits seperti Ibnu Hajar dan lainnya. Sungguh amat disayangkan ketika sebagian manusia lancang berbicara tentang sesuatu yang bukan bidangnya. Lebih-lebih masalah ini berkaitan tentang aqidah dan agama.

.

IV. SYUBHAT DAN JAWABAN

Tak henti-hentinya, musuh-musuh sunnah dari kalangan ahli bid’ah dan ahli filsafat menebarkan syubhat untuk menguatkan pendapat mereka dan menipu umat dengannya. Namun, yakinlah bahwa pembela kebenaran tidak akan lemah untuk menghadang gencarnya serangan mereka. Banyak syubhat seputar masalah ini, tetapi kami hanya akan menukil dua saja:

1. Akal

Al-Ustadz Al-Maududi -semoga Allah mengampuninya- berkata dalam Rosail wa Masail hal. 57 cet th 1351 H: “Rasulullah menganggap bahwa Dajjal akan keluar di masa beliau atau dekat dengan masa beliau. Namun, anggapan ini telah lewat 1350 tahun silam lamannya dan beberapa abad yang panjang, tetapi toh Dajjal juga belum keluar. Maka anggapan Nabi itu tidak benar”!!!
Pada hal. 55, Al-Ustadz Al-Maududi mengatakan: “Seluruh riwayat dan hadits seputar Dajjal ternyata hanyalah logika dan pendapat beliau saja, yang mana beliau sendiri ragu akan hal itu”.!!!
Jawab:

Bukankah ucapan ini adalah pengingkaran terang-terangan terhadap hadits Nabi?! Bukankah Allah telah berfirman tentang Nabi:

وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى

…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm: 3-4).

Tak perlu penulis perpanjang lebar bantahan ini, karena kebatilannya telah amat terang seterang matahari di siang bolong. Sungguh sangat menyedihkan dan membuat hati ini seakan teriris-iris membaca ucapan di atas, lantaran perkataan seperti itu pada hakekatnya tidaklah keluar dari orang-orang yang beriman kepada perkara ghaib, padahal Allah berfirman mensifati hamba-Nya yang bertaqwa:

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ

Orang-orang yang beriman dengan perkara ghaib. (QS. Al-Baqarah: 3)

Makna ghaib adalah setiap perkara yang dikhabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar kapasitas akal manusia seperti tanda-tanda dekatnya hari kiamat, siksa kubur, kebangkitan dari kubur, perkumpulan manusia di alam mahsyar, jembatan, timbangan, surga dan neraka.[11]

.

2. Perubahan Makna

Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa maksud Dajjal adalah simbol khurafat, kebohongan dan kerusakan[12].
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muhammad Fuhaim Abu ‘Ubayyah (rektor utusan Al-Azhar di Libanon). [13]
Jawaban:

Kalau kita cermati hadits-hadits berkaitan tentang Dajjal, tentu akan kita akan mendapati lucunya takwil seperti ini. Coba perhatikan hadits di atas saja, dimana Nabi menceritakan bahwa Dajjal adalah seorang yang buta.
Imam al-Albani berkata: “Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Dajjal akbar termasuk manusia, dia memiliki sifat-sifat manusia, terlebih lagi tatkala Nabi menggambarkannya seperti sahabat[14] Abdul ‘Uzza bin Qathn. Hadits ini merupakan salah satu dalil sekian dalil yang banyak sekali tentang batilnya takwil sebagian kalangan bahwa Dajjal bukan berwujud manusia, melainkan simbol kemajuan bangsa Eropa, kemegahan da fitnahnya! Jadi, Dajjal adalah manusia dan fitnahnya sangat dahsyat sekali sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits-hadits yang shahih. Kita berlindung kepada Allah darinya”. [15]
Kalau kita mau menelusuri takwil seperti ini, ternyata biangnya adalah kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah, dua firqoh yang jelas sekali kesesatannya. Imam Al-Ashbahani berkata “Pasal penjelasan bahwa Dajjal akan keluar tanpa keraguan. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka mengatakan bahwa Dajjal adalah setiap orang yang jelek”.[16]
Walhasil, Dajjal memang benar-benar akan keluar di akhir dan dia adalah berwujud orang secara hakiki (bukan simbol). Inilah aqidah yang harus diyakini oleh setiap muslim dan muslimah dengan kesepakatan ulama’ salaf, sekalipun diingkari oleh beberapa kelompok sesat dan menyesatkan.
Imam Al-Qodhi Iyadh berkata dalam Ikmal Mu’lim bi Fawaid Muslim 8/492: “Hadits-hadits ini merupakan hujjah bagi Ahli Sunnah wal Jama’ah tentang kebenaran adanya Dajjal dan bahwasanya Dajjal adalah seorang tertentu yang Allah jadikan sebagai ujian bagi hamba-Nya. Allah memberinya keluarbiasaan seperti mampu menghidupkan orang mati yang dibunuhnya, mampu menyuburkan tanaman dan sungai serta perbendaharaan bumi, mampu memerintahkan langit untuk menurunkan hujan sehingga menurunkan air hujan ke bumi. Semua itu dengan kehendak Allah. Kemudian Allah melemahkan Dajjal sehingga tidak dapat membunuh seorang mukmin kemudian Isa bin Maryam membunuhnya. Inilah madzhab Ahli Sunnah wal Jama’ah, seluruh ahli hadits dan ahli fiqih. Sungguh hal ini telah diingkari sebagian Khowarij, Mu’tazilah dan Jahmiyyah sehingga mereka mengingkari wujudnya Dajjal dan menolak hadits-hadits yang shahih…”. [17]
Di antara takwil batil seputar masalah Dajjal juga yaitu penafsiran sebagain kalangan bahwa tulisan “kafir” pada Dajjal bukanlah secara hakekatnya, namun hanya sekedar simbol kelemahannya sebagaimana diutarakan oleh Abu ‘Ubbiyyah dalam Ta’liq an-Nihayah 1/91.
Takwil seperti ini telah dibantah oleh para ulama kita:
Imam al-Qurthubi berkata: “Ini adalah pemalingan makna dari hekekat hadits tanpa indikator yang perlu…”.[18]
Imam Nawawi berkata: “Pendapat yang benar sebagaimana pendapat ahli haq bahwa tulisan ini adalah secara dhahirnya dan bahwasanya tulisan itu secara hakekatnya. Allah menjadikannya sebagai tanda dari tanda-tanda yang jelas tentang kekufurannya, kedustaannya dan kebatilannya. Allah menampakkan hal itu bagi setiap muslim, baik bisa baca tulis atau tidak dan tidak menampakkannya bagi orang yang Allah kehendaki sengsara. Semua itu bukanlah perkara yang mustahil”.[19] Ucapan diatas juga disetujui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar, dimana beliau menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan kalau tulisan tersebut hanyalah sekedar majaz: “Itu adalah pendapat yang lemah”.[20] Wallohu A’lam.
.

V. MENGGALI ILMU DARI HADITS-HADITS TENTANG DAJJAL

Berbicara tentang Dajjal sebenarnya panjang sekali, terlalu panjang kalau diuraikan semua. Namun, penulis merasa perlu untuk menyebutkan sebagiannnnya, semoga bisa diambil faedahnya. Sebelumnya, kami ingin menukilkan ucapan bagus Syaikh Al-Allamah Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di dalam risalahnya Fitnah Dajjal hal. 27-30 -secara ringkas- sebagai berikut:

Pertama: Kaum muslimin bersepakat untuk menerima bulat semua dalil yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Semua yang dikhabarkan oleh Allah maka pasti akan terjadi, tidak terelakkan. Baik kita mengetahui dengan mata kepala kita sendiri atau tidak. Hal ini disepakati oleh semua ulama kaum muslimin. Tidak sempurna iman seorang hamba kecuali dengannya.

Kedua: Apa yang dikhabarkan Nabi, perintah dan larangannya, semuanya benar dan bermanfaat bagi semua hamba dan umat. Khabar beliau tentang Dajjal, fitnah dan perintah berlindung darinya, semua sangat bermanfaat bagi umat. Membenarkan hal itu akan menambah keimanan seorang mukmin dan berlindung kepada Allah.

Ketiga: Fitnah Dajjal ada dua macam[21]:

Jenis orang yang disifatkan oleh Nabi dengan sifat-sifat yang tertera dalam banyak hadits.
Jenis fitnah Dajjal yang mencakup seluruh kebathilan yang dipoles dengan baju yang indah sehingga banyak manipu manusia.
.

1. Siapakah pengikut Dajjal?

Banyak hadits yang menjelaskan tentang para pengikut Dajjal, diantaranya:

a. Yahudi, khususnya Yahudi Ashbahan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:

يَتْبَعُ الدَّجَّالَ مِنْ يَهُوْدِ أَصْبَهَانَ سَبْعُوْنَ أَلْفًا عَلَيْهِمْ الطَّيَّالِسَةُ

Akan mengikuti Dajjal tujuh puluh ribu Yahudi Ashbahan, mereka mengenakan jubah[22].

Syaikh Salim bin I’ed al-Hilali berkata:

“Mengapa Nabi menyebutkan Yahudi Ashbahan (Iran) secara khusus?! Jawabnya, karena hubungan yang amat erat antara Yahudi dengan Syi’ah. Sejarah mencatat bahwa kaum Syi’ah sepanjang masa selalu membantu kaum Yahudi untuk menghancurkan kaum muslimin, tidak seperti yang sering digambarakan oleh media-media penyesat sekarang yang menggambarkan bahwa kaum Syi’ah mengusir Yahudi dan memerdekakan negeri dari Yahudi. Demi Allah, semua itulah politik dan kedustaan”. [23]

b. Kaum wanita, berdasarkan hadits riwayat Imam Ahmad 7/190 dengan sanad shahih dari Ibnu Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

“Dajjal akan turun ke Mirqonah (nama sebuah lembah) dan mayoritas pengikutnya adalah kaum wanita, sampai-sampai ada seorang yang pergi ke isterinya, ibunya, putrinya, saudarinya dan bibinya kemudian mengikatnya karena khawatir keluar menuju Dajjal”.

c. Kelompok khawarij, berdasarkan sabda Nabi:

يَنْشَأُ نَشْأٌ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيْهِمْ, كُلَّمَا خَرَجَ فَرْقٌ قُطِعَ حَتَّى يَخْرُجَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ الدَّجَّالُ

Akan muncul suatu kelompok yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak sampai pada tenggorokan mereka. Setiap kali muncul, mereka dibasmi habis hingga keluar pada pasukan besar mereka Dajjal.[24]



2. Pertarungan antara Dajjal dan seorang mukmin.

Dalam riwayat Imam Muslim (2938) dari hadits Abu Sai’id al-Khudri terdapat kisah menarik tentang pertarungan antara Dajjal dengan seorang mukmin, ringkasnya:

Ada seorang pemuda beriman sebaik-baik manusia datang kepada Dajjal seraya berkata padanya: “Wahai manusia, ini adalah Dajjal yang telah diceritakan Rasulullah dalam haditsnya!”
Dajjal berkata: Apakah kamu beriman padaku?
Jawab pemuda itu: “Kamu adalah pendusta”. Pemuda itu kemudian digergaji sehingga terbelah menjadi dua, lalu Dajjal melewati dua potongan badannya kemudian menyuruhnya berdiri.
Pemuda itupun berdiri lagi seraya berkata: “Saya malah bertambah mantap tentang dirimu”.
Setelah itu, Dajjal ingin membunuhnya tetapi tidak bisa”.
.

Dalam kisah tersebut ada beberapa feadah yang dapat kita petik, diantaranya:

a. Pentingnya aqidah dan manhaj yang kokoh dalam hati. Perhatikanlah, bagaimana pemuda tersebut tetap kokoh seperti gunung sekalipun harus menanggung penganiayaan Dajjal yang begitu sadis! Oleh karena itu, janganlah sekali-kali engkau -wahai saudaraku- merasa jemu dan bosan dalam mempelajari dan memupuk aqidah dan manhaj dalam hati kita.

b. Boleh bahkan disyaria’atkan bagi seorang yang mapan dan kokoh keimanannya untuk menghadapi Dajjal. Dari sinilah diambil kaidah manhajiyah, bahwa orang yang berhak untuk menghadang fitnah ahli bid’ah -yang menggeliat pada zaman sekarang- adalah ahli ilmu dan penuntut ilmu yang mapan, bukan orang-orang awam atau penuntut ilmu ingusan, sehingga dengan amat mudahnya mereka akan terbius oleh syubhat-syubhat ahli bid’ah. Demikianlah karakteristik golongan selamat, mereka senantiasa berjuang dengan gigih untuk melawan dan menumpas para dajjal junior dari kalangan penyesat manusia dan penjahat agama. Yakinlah bahwa kebatilan akan sirna dan kebenaran pasti jaya.

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ عَلَى مَنْ نَاوَأَهُمْ حَتَّى يُقَاتِلَ آخِرُهُمْ الْمَسِيْحَ الدَّجَّالَ

Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berjuang di atas kebenaran, mereka menang melawan orang yang menghadang mereka sehingga akhir dari mereka perang melawan Dajjal. [25]

c. Ilmu yang bermanfaat dan terpuji dalam Islam adalah ilmu Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Oleh karena itulah, hendaknya kita menyibukkan diri untuk mempelajari dan menggeluti keduanya. Sungguh merupakan kesalahan yang amat fatal sekarang ini, kalau kita menyibukkan para pemuda dengan apa yang kini biasa disebut dengan fiqhul waqi’ yaitu menggeluti koran, situs internet, satelit, tv, radio dengan tujuan untuk mengetahui program orang-orang kafir dalam menghancurkan Islam. Memang itu adalah tujuan yang baik, tetapi cara seperti itu yang tidak baik. Perhatikanlah -wahai saudaraku- perkataan seorang pemuda mukmin tersebut “Engkau adalah Dajjal yang telah diberitakan oleh Nabi dalam hadits-haditsnya”.

Jadi, dengan apakah pemuda tersebut mengenal Dajjal?! Apakah karena dia mendengar berita dari radio BBC London atau CNN Amerika?!! Tidak, sama sekali tidak, tetapi dia mengetahuinya dari hadits Nabi. Subhanallah, Allohu akbar, demikianlah fiqih waqi’ yang sebenarnya[26]!!.
d. Menetapkan karomah bagi orang-orang beriman dan ini akan terus berlanjut hingga akhir zaman sebagaimana dialami oleh pemuda beriman tersebut.

e. Bantahan kepada pemahaman tasawwuf, karena kedigdayaan dan keluarbiasaan yang muncul pada seorang tidak mesti menunjukkan keshalehan seorang, tetapi harus diukur dengan barometer syari’at. Tidakkah engkau lihat bahwa Dajjal juga memiliki keluarbiasaan, tetapi apakah hal itu menunjukkan dia shaleh dan baik?!! Jadi harus dibedakan antara karomah dan istidraj. Karomah adalah keluarbiasaan yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa, adapun kedigdayaan yang muncul dari orang yang menyimpang, penyihir dan para dajjal maka hal itu disebut istidraj dan tipuan Iblis. Alangkah indahnya ucapan seorang penyair:

إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا قَدْ يَطِيْرُ وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ يَسِيْرُ

وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُوْدِ الشَّرْعِ فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ بِدْعِيْ

Bila engkau lihat seorang dapat terbang

Dan berjalan di atas lautan

Padahal dia tidak mentaati undang-undang syari’at

Maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli bid’ah yang dimanja.

.

2. Kewajiban berlindung dari fitnah Dajjal

Cara mengatasi segala fitnah secara umum adalah dengan taqwa dan ibadah. Termasuk pula fitnah dajjal. Oleh karenanya, perhatikanlah tentang pertanyaan para sahabat Nabi takala mereka mendengar cerita Nabi tentang Dajjal, dimana mereka bertanya tentang shalat, tidak tentang individu. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa solusi menghadapi fitnah adalah ibadah dan taqwa. Nabi bersabda:

الْعِبَادَةُ فِيْ الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ

Ibadah di saat fitnah seperti hijrah kepadaku. [27]

.

VI. Berikut beberapa Faktor penyelamat dari fitnah Dajjal:

Pertama, Membekali diri dengan Islam, iman dan tauhid terutama tauhid asma wa sifat sehingga seorang mengetahui bahwa Dajjal hanyalah manusia biasa yang buta padahal Allah tidak buta. Dia juga yakin bahwa hamba tidak mungkin melihat Allah sampai meninggal dunia, sedangkan Dajjal dapat dilihat manusia ketika muncul akhir zaman.
Kedua, Banyak berlindung kepada Allah dari fitnah Dajjal, terutama ketika dalam shalat:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنْ أَرْبَعٍ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ

Jika salah seorang diantara kalian duduk dalam tasyahud akhir, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dari empat perkara. Hendaknya dia berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa Neraka Jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati serta jeleknya fitnah Dajjal.[28]

Ketiga, Menghafal sepuluh ayat pertama surat Al-Kahfi:
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : مَنْ حَفِظَ عَشَرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ

Dari Abu Darda’ a bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi, maka dia akan dijaga dari fitnah Dajjal. [29]

Keempat, Menjauh dari Dajjal dan tidak mendekatinya, kecuali apabila dia yakin bahwa Dajjal tidak membahayakan dirinya, sangat kuat aqidahnya kepada Allah dan mengenal ciri-ciri Dajjal sebagaimana disifatkan oleh Nabi.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ, فَوَاللهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِيْهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتَّبِعُهُ مِمَّا يَبْعَثُهُ مِنَ الشُّبُهَاتِ

Dari Imran bin Hushain رضي الله عنه berkata: Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: Barangsiapa yang mendengar Dajjal, maka hendaknya dia menjauh darinya. Demi Allah, sesungguhnya seseorang datang menghampirinya dengan anggapan bahwa dirinya beriman, lalu dia mengikuti Dajjal karena terbius oleh syubhat-syubhatnya.[30]

Kelima, Tinggal di kota Mekkah dan Madinah.
يَجِيْئُ الدَّجَّالُ فَيَطَأُ الأَرْضَ إِلاَّ مَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةَ, فَيَجِدُ بِكُلِّ نَقْبٍ مِنْ نَقَابِهَا صُفُوْفًا مِنَ الْمَلاَئِكَةِ

Tatkala Dajjal datang, dia menjajaki seluruh bumi kecuali kota Mekkah dan Madinah. Dia menjumpai pada setiap gang/lorong terdapat para malaikat yang berbaris[31].

Kita berdo’a kepada Allah agar menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang beriman dan meneguhkan kita semua hingga maut menjemput kita. Amiin.

.

artikel: www.abiubaidah.wordpress.com

[1] Hasan. Riwayat Ahmad dalam Musnadnya 1/24, Ad-Dani dalam Al-Fitan 2/23 dan dihasankan al-Albani dalam Qishshaotul Masih hal. 30.
[2] Shahih. Diriwayatkan Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Musnad Ahmad 4/71-72 dan dishahihkan al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid 7/646 dan al-Albani dalam Qishshotul Masih Dajjal hal. 30.

[3] HR. Bukhari no. 7131 dan Muslim no. 2933

[4] Lihat Sunan Ibnu Majah: 4077.

[5] Lawami’ Anwar 2/106-107.

[6] Sebagaimana dinukil oleh murid beliau, Ibnu Katsir dalam Nihayah Al-Bidayah 1/124.

[7] Sebagaimana dinukil oleh al-Kattani dalam Nadhmul Mutanatsir hal. 241 dan Al-Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud 11/308.

[8] Yang diketuai oleh samahatus syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Baz.

[9] Demikian dikatakan oleh Syaikh al-Albani dalam foot note Tamamul Minnah hal. 79.

[10] Qishshatul Masih Dajjal hal. 24-28 secara ringkas.

[11] Fathul Qodir 1/34 oleh Imam asy-Syaukani.

[12] Tafsir Al-Manar 3/317.

[13] Ta’liq an-Nihayah 1/152 oleh Imam Ibnu Katsir.

[14] Demikianlah ketegasan Syaikh al-Albani, bahwa Abdul Uzza bin Qathn termasuk sahabat, namun yang benar bahwa beliau bukan termasuk sahabat, karena dia telah wafat pada masa Jahiliyyah. (Lihat al-Ishabah 4/239, Fathul Bari 6/488, 13/100 oleh Ibnu Hajar).

[15] Silsilah Ahadits Ash-Shahihah 3/19.

[16] Al-Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (1/416)

[17] Dinukil dan disetujui oleh imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (18/371) dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/105. Lihat Nihayah Al-Bidayah 1/148 oleh Ibnu Katsir dan Faidhul Qodir 3/662 oleh al-Munawi.

[18] At-Tadzkirah Fi Akhwal Muata wal Akherah 2/778.

[19] Syarh Shahih Muslim 18/373

[20] Fathul Bari 13/100

[21] Lihat pula Bughyatul Murtab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 483

[22] HR. Muslim: 2944

[23] Kaset Syarh Ushul Sunnah Ahmad bin Hanbal no. 9.

[24] Hasan. HR. Ibnu Majah: 174 dan dihasankan al-Albani dalam Ash-Shahihah: 2455.

[25] Lihat Ash-Shahihah: 1959.

[26] Lihat tulisan ustadzuna Abu Aisyah Arif Fathul Ulum “Fiqih Waqi’/Pemahaman Realita” dalam Majalah Al Furqon edisi 10. Th. III.

[27] HR. Muslim 2948.

[28] HR. Muslim 588.

[29] HR. Muslim 809.

[30] Shahih. HR. Ahmad 4/43, 441, Abu Dawud 4319, al-Hakim 4/531 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah 5488.

[31] HR. Bukhari Muslim.

MAUT DISEMBELIH?

A. Pengantar

Sunnah Nabawiyyah sebagai penjelas kitab suci Al-Qur’an telah membahas secara gamblang tentang masalah-masalah “ilmu ghaib” yang berada di luar alam kita seperti Malaikat, Jin, Arsy, Kursi dan sebagainya. Sunnah juga membahas secara detail tentang kejadian setelah kematian berupa nikmat dan siksa kubur, kebangkitan hari kiamat, syafa’at, timbangan, shirat, surga, neraka dan sebagainya. Semua ini telah dibahas tuntas dalam Sunnah Nabawiyyah Shahihah sehingga tiada peluang bagi seseorang untuk ragu-ragu dalam masalah ini.

Perlu kita ingat bersama bahwa pembicaraan kita adalah mengenai hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah saja. Adapun hadits-hadits yang tidak shahih, maka hal itu di luar tema pembicaraan kita dan telah dimaklumi bersama bahwa hal itu tidak bisa dijadikan sandaran dalam agama.

Sebagai seorang muslim sejati, kita harus pasrah menerima hadits-hadits shahih tersebut dan tidak mementahkannya hanya karena tidak diterima oleh logika kita atau dimustahilkan oleh akal pikiran kita. Kita semua tahu bahwa manusia pada zaman sekarang ini telah mampu membuat berbagai kecanggihan teknologi yang seandainya saja diberitakan kepada salah seorang yang hidup dahulu kala, niscaya dia akan memustahilkannya dan mungkin menvonis penceritanya sebagai orang gila. Kalau demikian, lantas bagaimana dengan kemampuan Allah, Dzat Yang tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi yang dapat mengalahkannya?!!

Oleh karenanya para ulama menegaskan bahwa agama mungkin saja datang dengan sesuatu yang membuat bingung akal seorang, tetapi tidak mungkin dia datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal. Dari sinilah maka tidak mungkin dalil bertentangan dengan akal selama-lamanya. Apabila ada yang terkesan demikian, maka perlu dikoreksi, kemungkinan dalilnya yang tidak shahih, atau dalil akalnya yang tidak benar[1].

Saudara pembaca yang semoga selalu dirahmati Allah, kajian kita kali ini masuk dalam kategori kaidah di atas, lantaran haditsnya shahih menurut undang-undang ilmu hadits dan merupakan masalah ghaib sehingga harus diterima oleh seorang muslim dengan pasrah tanpa memertentangkannya dengan logikanya. Namun kenapa masih banyak suara sumbang?! Mengapa hadits ini masih sering diobok-obok oleh orang?! Semoga tulisan ini dapat menggugah kita dari kelalaian kita selama ini dan menghilangkan kerancuan yang melekat pada hati kita selama ini. Amiin Ya Rabbal Alamin.


B. TAKHRIJ HADITS

Ketahuilah wahai saudaraku tercinta -semoga Allah selalu memberkahi anda- bahwa hadits pembahasan kita ini derajatnya adalah SHAHIH tanpa sedikitpun keraguan di dalamnya, diriwayatkan oleh para ulama terpercaya dari sahabat Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Anas bin Malik dan sebagainya. Berikut keterangannya:

Riwayat Abu Sa’id al-Khudri
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحٍ فَيُنَادِي بِهِ مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ, فَيَقًُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ, وَكُلُّهُمْ قَدْ رَآهُ, ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ, فَيَقُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ وَكُلُّهْمْ قَدْ رَآهُ فَيُذْبَحُ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يَقُوْلُ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ, وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ, ثُمَّ قَرَأَ (وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْحَسْرَةِ إِذْ قُضِيَ الأَمْرُ وَهُمْ فِيْ غَفْلَةٍ وَهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ) وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى الدُّنْيَا

Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda: “Kematian didatangkan pada bentuk kambing berkulit hitam putih, lalu seorang penyeru memanggil: Wahai penduduk surga! Mereka

menengok dan melihat, penyeru itu berkata: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, mereka semua telah melihatnya. Kemudian penyeru memanggil: Wahai penduduk neraka! Mereka menengok dan melihat, penyeru itu berkata: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, mereka semua telah melihatnya, lalu disembelih diantara surga dan neraka, lalu berkata: Wahai penduduk surga, kekekalan tiada kematian setelahnya, dan hai penduduk neraka, kekekalan dan tiada kematian setelahnya, lalu beliau membaca (Dan berilah mereka peringatan tatkala ditetapkan perkara sedangkan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak beriman). Dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke dunia.

SHAHIH. Diriwayatkan:

Bukhari 4730, 6549,
Muslim 2849,
Ahmad 3/9,
Tirmidzi 3156,
Nasai dalam Sunan Kubra 11316,
al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 4366 dan Ma’alim Tanzil 1/232,
al-Ajurri dalam asy-Syari’ah 944,
Abu Nuaim dalam Hilyah Auliya’ 8/184,
ath-Thabari dalam Jamiul Bayan 16/87,
al-Baihaqi dalam al-Ba’tsu wa Nusyur 640,
Abdu bin Humaid dalam al-Muntakhab 912.
Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”
Al-Baghawi berkata: “Hadits ini disepakati keshahihannya”.
2. Riwayat Abdullah bin Umar

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِذَا صَارَ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلَى الْجَنَّةِ وَأَهْلُ النَّارِ إِلَى النَّارِ جِيْءَ بِالْمَوْتِ حَتَّى يُجْعَلَ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُذْبَحُ ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ لاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ لاَ مَوْتَ فَيَزْدَادُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَرَحًا إِلَى فَرَحِهِمْ وَيَزْدَادُ أَهْلُ النَّارِ حُزْنًا إِلَى حُزْنِهِمْ

Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: “Apabila penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka memasuki neraka, maka didatangkan kematian lalu diletakkan diantara surga dan neraka kemudian disembelih kemudian diserukan oleh penyeru: Wahai enduduk surga tiada kematian lagi dan wahai penduduk neraka tiada kematian lagi. Penduduk surga semakin bertambah kegembiraan mereka dan penduduk neraka semakin bertambah kesedihan mereka”.

SHAHIH. Diriwayatkan:

Bukhari 6548,
Muslim 2850,
Ahmad 2/118, 120, 121,
ath-Thabrani dalam al-Mu’jam Kabir 13337,
Abu Nuaim dalam Hilyah Auliya’ 8/183-184,
al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 4367,
Ibnu Adi dalam al-Kamil 5/1680,
al-Baihaqi dalam al-Ba’ts wa Nusyur 642
Al-Baghawi berkata: “Hadits disepakati keshahihannya”.
3. Riwayat Abu Hurairah

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُوْقَفُ عَلىَ الصَّرَاطِ فَيُقَالُ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَطَلَّعُوْنَ خَائِفِيْنَ وَجِلِيْنَ أَنْ يَخْرُجُوْا مِنْ مَكاَنِهِمْ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ, ثُمَّ يُقَالُ : يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَطَلَّعُوْنَ مُسْتَبْشِرِيْنَ فَرِحِيْنَ أَنْ يَخْرُجٌوْا مِنْ مَكَانِهِمْ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ, فَيُقَالُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ قَالُوْا : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ, قَالَ : فَيُؤْمَرُ بِهِ فَيُذْبَحُ عَلَى الصِّرَاطِ ثُمَّ يُقَالُ لِلْفَرِيْقَيْنِ كِلاَهُمَا : خُلُوْدٌ فِيْمَا يَجِدُوْنَ لاَ مَوْتَ فِيْهَا أَبَدًا

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: Kematian didatangkan pada hari kiamat lalu diletakkan di atas shirat (jembatan) lalu diserukan: Wahai penduduk surga! Mereka mengintip ketakutan untuk keluar dari tempat mereka. Kemudian dikatakan: Wahai penduduk neraka! Mereka mengintip penuh gembira dengan harapan keluar dari tempat mereka, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, kemudian diperintahkan untuk disembelih di atas shirat dan dikatakan kepada kedua golongan tersebut: Kekekalan apa yang kalian dapati, tiada kematian di dalamnya selama-lamnya.

HASAN SHAHIH. Diriwayatkan:

Ahmad 2/261,
Ibnu Majah 4327,
Ibnu Hibban dalam Shahihnya 7450,
al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/83,
ad-Darimi 2814,
al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah 941,
Abu Ishaq bin Harb dalam Musnad Abu Hurairah 6,
Abdu bin Humaid dan Ibnu Mardawaih sebagaimana dalam ad-Durr Mantsur 1/102 oleh as-Suyuthi.
Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih, sesuai syarat Muslim”.
Al-Mundziri dalam at-Targhib wa Tarhib 3/1394: “Riwayat Ibnu Majah dengan sanad jayyid (bagus)”.
Syaikh al-Albani berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “Hasan Shahih”.

4. Riwayat Anas bin Malik

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ كَبْشٌ أَمْلَحٌ فَيُوْقَفُ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَقُوْلُوْنَ : لَبَّيْكَ رَبَّنَا, قَالَ : فَيُقَالُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ رَبَّنَا, هَذَا الْمَوْتُ, ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ ! فَيَقُوْلُوْنَ : لَبَّيْكَ رَبَّنَا, قَالَ : فَيُقَالُ لَهُمْ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ رَبَّنَا, هَذَا الْمَوْتُ, فَيُذْبَحُ كَمَا تُذْبَحُ الشَّاةُ فَيَأْمَنُ هَؤُلاَءِ وَيَنْقَطِعُ رَجَاءُ هَؤُلاَءِ

Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah bersabda: Kematian didatangkan pada hari kiamat seakan kambing berkulit hitam putih lalu diletakkan diantara surga dan neraka dan diserukan oleh penyeru: Wahai penduduk surga! Mereka mengatakan: Kami penuhi panggilanmu wahai Rabb kami, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, wahai Rabb kami, ini adalah kematian. Kemudian diserukan oleh penyeru: Wahai penduduk neraka! Mereka mengatakan: Kami penuhi panggilanmu wahai Rabb kami, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, wahai Rabb kami, ini adalah kematian, kemudian disembelih sebagaimana kambing disembelih, maka mereka (penduduk surga) merasa aman dan mereka (penduduk neraka) putus harapan mereka.

SHAHIH. Riwayat:

Abu Ya’la dalam Musnadnya 5/278,
ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath 3672,
al-Bazzar 3557 -Kasyful Astar-
Al-Haitsami berkata: “Para perawinya perawi shahih kecuali Khalid ath-Thahi dan dia tsiqah (terpercaya)”.
Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib wa Tarhib 3/1394: “Riwayat Abu Ya’la, Thabrani, al-Bazzar dan sanad mereka shahih”. Dan disetujui al-Albani dalam Shahih Targhibnya.
Walhasil, sebagaimana yang anda lihat sendiri wahai saudaraku, hadits ini derajatnya shahih, diriwayatkan oleh para ulama hadits terpercaya dalam kitab-kitab mereka. Maka janganlah anda mudah terpedaya dengan hembusan syubhat yang menantang di hadapan anda, bahkan gulingkanlah dia dengan kekuatan ilmu yang anda miliki. Jadilah dan banggalah dirimu sebagai pembela Rasulullah dan janganlah merasa takut, sesungguhnya pasukan Allah pasti akan menang!!

.

C. MENYINGKAP TIRAI SYUBHAT

Setelah membawakan dua hadits di atas dari riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa’id al-Khudri, penulis Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah hal. 160-161 membuat suatu pertanyaan meragukan: “Tahukah anda bagaimana cara memahami hadits ini? Bagaimana kematian disembelih? Ataukah kematian mengalami mati?

Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi berkata: “Hadits ini dianggap rumit karena bertentangan dengan logika karena kematian adalah sifat dan sifat tidak berubah menjadi dzat, lantas bagaimana kok disembelih? Oleh karenanya sebagian kelompok mementahkan keabsahan hadits ini dan menolaknya. Kelompok lainnya mentakwil (menafsirkan tidak sesuai dhahirnya) seraya mengatakan: “Ini adalah majaz (kata kiasan) bukan hakekat sebenarnya”. Lainnya lagi menimpali: “Yang benar adalah disembelih seperti hakekatnya, tetapi yang disembelih adalah malaikat pencabut nyawa, semua orang mengenalnya karena dialah yang mencabut nyawa mereka”. Al-Hafizh mengatakan: “Pendapat ini disetujui oleh kalangan mutaakhirin (belakangan)”.

Semua penafsiran ini adalah untuk lolos dari menfafsirkan hadits secara hakekatnya yang bertentangan dengan logika sebagaimana kata Ibnul Arabi.

Cara ini lebih utama daripada menolak hadits, karena hadits ini telah shahih dari jalur-jalur terpercaya dari banyak sahabat. Sungguh merupakan tindakan serampangan kalau hadits ini ditolak padahal bisa kita tafsirkan seperti di atas…”.

Jawaban:

Sebelumnya terlebih dahulu kita berterima kasih kepada penulis di atas, karena beliau sedikit meringankan beban kita, lantaran beliau sepakat dengan kita tentang keabsahan hadits ini, bahkan beliau menegaskan bahwa merupakan tindakan ngawur kalau kita menolak keshahihan hadits ini. Sekali lagi kami berterima kasih atas pengakuan ini, namun masih tersisa masalah lain yang masih mengundang tanda tanya yang gatal di pikiran kita semua, yaitu apakah hadits ini secara hakekatnya ataukan dia hanya sekedar majaz seperti yang dikuatkan oleh penulis di atas[2]?!! Inilah yang akan kita singkap dalam point-point berikut ini:

.

Pertama: Masalah Keimanan

Kaidah yang harus kita tanamkan bersama dalam masalah ini dan juga masalah-masalah keyakinan terhadap masalah ghaib lainnya adalah iman terhadap khabar yang datang dari Allah, sebagaimana firmanNya:

هُدََى لِلْمُتَّقِيْنَ . الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ

Petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib. (QS. Al-Baqarah: 3)[3]

Oleh karena para ulama dan imam seperti Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak, Ibnu Uyainah, Waki’ dan sebagainya mereka meriwayatkan hadits ini kemudian mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan dan diimani tanpa ditanyakan: Bagaimana? Inilah yang dipilih oleh ahli hadits, yaitu meriwayatkan hadits ini dan diimani sebagaimana datangnya tanpa dikhayalkan atau ditanyakan: Bagaimana?[4].

Dari sini anda tahu rahasia kenapa para ulama mencantumkan masalah ini dalam kitab-kitab aqidah, semisal Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 194, Ibnu Qudamah dalam Lum’ah I’tiqad hal.133 -Syarh Ibnu Utsaimin- , Shiddiq Hasan Khan dalam Qathfu Tsamar hal. 125, bahkan dalam kitabnya Juz’ fiihi Imtihan Sunni Minal Bid’i hal. 343, Abdul Wahid asy-Syirazi menjadikan masalah ini sebagai pembeda antara ahli Sunnah dengan ahli bid’ah, beliau mengatakan: “Kalau ada yang ditanya apakah maut akan didatangkan dan disembelih ataukah tidak? Apabila dia menjawab: Disembelih antara surga dan neraka, maka dia ahlus Sunnah. Namun apabila dia mengingkarinya maka dia ahli bid’ah”.

Jadi, masalah ini adalah masalah keyakinan dan keimanan yang di luar kapasitas akal seorang[5], yang harus diterima oleh seorang muslim dengan penuh kepasrahan. Kita berdoa kepada Allah agar menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang beriman.

.

Kedua: Hakekat Atau Majaz?!

Ada kaidah penting dan populer di kalangan ulama yang harus kita fahami juga dalam masalah ini, yaitu sebuah kaidah yang berbunyi:

الأَصْلُ فِي الْكَلاَمِ الْحَقِيْقَةُ فَلاَ يُعْدَلُ بِهِ إِلَى الْمَجَازِ -إِنْ قُلْنَا بِهِ- إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ

Kaidah asal suatu ungkapan adalah hakekatnya, tidak boleh dibawa kepada majaz (kiasan) –kalau kita berpendapat ada majaz- kecuali apabila tidak mungkin diartikan secara hakekatnya[6].

Sebagai contoh sederhana: Lafadz (الأَسَدُ), pada asalnya dia bermakna singa, salah satu hewan buas. Apabila kita mendapati kata tersebut, maka pada asalnya adalah bermakna binatang singa, kecuali kalau ada indikasi yang menghalangi kita untuk mengartikan secara hakekatnya, seperti dalam kalimat berikut:

رَأَيْتُ الأَسَدَ يَخْطُبُ الْجُمُعَةَ عَلَى الْمِنْبَرِ

Saya melihat singa khutbah jumat di atas minbar.

Dalam kalimat ini, tidak mungkin “singa” bermakna hewan, tetapi maksudnya adalah seorang pemberani, karena ada indikasi kuat yang mengahalangi kita untuk mengartikan secara hakekatnya.

Bentuk penerapan kaidah ini ke dalam hadits pembahasan adalah kata “maut” tetap kita artikan secara zhahirnya yaitu kematian, sampai ada indikasi kuat yang memalingkan dari makna aslinya. Wallahu A’lam.

Ketiga: Jangan Ragukan Kemampuan Allah!!

Hal ini juga harus kita yakini bersama bahwa Allah Maha mampu, tidak ada sesutupun yang tidak mampu Dia lakukan. Oleh karenanya, janganlah kita ukur kemampuan Allah dengan kemampuan makhluk, sebagaimana jangan kita ukur masalah akherat dengan masalah dunia, karena hal itu di luar kapasitas akal kita. Berikut beberapa dalil yang semoga bisa dijadikan sebagai gambaran bahwa perubahan dari sifat kepeda benda bukanlah suatu yang mustahil bagi Allah. Allah telah mengkhabarkan bahwa Dia akan menimbang amal perbuatan hambaNya:

ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئا وإن كان مثقال حبة من خردل أتينا بها وكفى بنا حاسبين

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya dan cukup Kami sebagai pembuat perhitungan. (QS. Al-Anbiya’: 47)

Hal ini harus kita yakini bersama, sekalipun secara akal kita yang terbatas bahwa amal perbuatan bukanlah benda yang bisa ditimbang.

اقْرَؤُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ

Bacalah dua bunga, surat Al-Baqarah dan surat Ali Imron, karena keduanya akan datang pada hari kiamat seperti naungan.[7]

Dan dalam hadits tentang adzab dan nikmat kubur, diantaranya Nabi mengkhabarkan:

وَيَأْتِيْهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَيَقُوْلُ : أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُرُّكَ, هَذَا يَوْمُكَ الَّذِيْ كُنْتَ تُوْعَدُ, فَيَقُوْلُ لَهُ : مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِئُ بِالْخَيْرِ؟ فَيَقُوْلُ : أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ


Lalu datang padanya seorang berwajah tampan, berbaju bagus, dan aromanya wangi seraya mengatakan: Bergembiralah dengan hari yang menyenangkanmu, haru yang engkau dijanjikan untuknya, si mayit mengatakan: Siapakah dirimu, wajahmu seperti wajah orang yang datang dengan kebaikan, dia menjawab: Saya adalah amalmu yang shalih. [8]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang serupa. Nah, kalau demikian apakah mustahil kalau Allah akan merubah kematian dalam bentuk kambing kemudian disembelih antara surga dan neraka?!! Apakah hal itu sulit bagi Allah wahai hamba Allah?!! Tidak, demi Allah, kecuali bagi orang-orang yang lemah imannya. [9]

.

Keempat: Komentar Ulama

Sebagaimana biasanya dalam tulisan-tulisan lainnya, metode dalam tulisan kami hanyalah menyusun dan menukil warisan peninggalan para ulama kita dalam kitab-kitab mereka, kami tidak mengada-ngada atau membuat sesuatu yang baru dalam agama. Demikian halnya masalah ini, kami dibimbing oleh para ulama kita dalam memahami hadits ini. Berikut sedikit nukilan komentar mereka:

1. Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Kambing dan sembelihan dan persaksian penduduk Surga dan Neraka adalah pada hakekatnya, bukan khayalan atau sekadar kata kiasan, sebagaimana sebagian manusia terjatuh dalam kesalahan yang amat fatal sekali dalam masalah ini seraya mengatakan: “mati adalah sifat dan sifat tidak bisa menjadi benda apalagi disembelih”. Semua ini adalah tidak benar, karena Allah menjadikan amalan bisa membentuk, merubah sifat menjadi benda, atau merubah benda menjadi sifat. Semua ini adalah hal yang mungkin bagi Allah, bukan sesuatu yang mustahil. Tidak perlu kita bersusah payah mengatakan: “Yang disembelih adalah malaikat maut, karena semua ini adalah ralat yang rusak kepada Allah dan rasulNya, serta penafsiran bathil yang tidak diterima oleh akal maupun dalil. Faktor penyebabnya adalah dangkalnya pemamahan terhadap maksud ucapan Nabi…”. [10]

Beliau juga memiliki ucapan yang bagus dalam kitabnya Al-Kafiyah asy-Syafiyah fil Inthishar lil Firqah Najiyah[11] 329-331 dengan judul “Pasal tentang disembelihnya kematian antara surga dan neraka, serta bantahan terhada orang yang mengartikan hal itu adalah Malaikat maut, atau itu hanyalah majaz bukan hakekatnya”.

2. Al-Allamah as-Saffarini berkata: “Al-Hakim at-Tirmidzi menukil bahwa madzhab salaf tentang hadits ini adalah tidak memperbincangkan maknanya, kita beriman dengannya dan kita serahkan ilmunya kepada Allah”. Setelah menukilkan penafsiran-penafsiran tentang hadits ini, beliau berkomentar: “Pendapat yang kami anut bahwa kematian adalah sesuatu yang ada dan merupakan dzat bukan sifat, serta makhluk dalam bentuk kambing sebagaimana telah shahih hadits-hadits tentangnya dari Nabi yang mulia dan dinukil oleh para imam serta dihimpun oleh para penulis pilihan”. [12]

3. Syaikh Muhammad Khalil Harras mengatakan: “Hal ini tidak mustahil dalam kemampuan Allah, bisa saja suatu sifat dirubah menjadi benda, demikian juga sebaliknya. Semua itu mungkin dan bisa terjadi. Telah banyak dalil yang menunjukkan tentang berubahnya suatu sifat menjadi dzat”.

Lanjutnya: “Kalau telah tetap bahwa beberapa amalan, bacaan dan selainnya dirubah oleh Allah menjadi suatu benda yang ditimbang, datang dan berbicara, maka tidak ada penghalang selama-lamanya kalau Allah merubah kematian menjadi bentuk kambing yang dilihat oleh penduduk surga agar bertambah gembira dan penduduk neraka agar bertambah sengsara. Kematian merupakan makhluk dengan ketegasan Al-Qur’an. Allah berfirman:

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً

Dialah Allah Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk: 2)

Dan tidak ragu lagi bahwa makhluk bisa saja dirubah oleh Allah kepada bentuk lain, dari sifat kepada dzat dan dari dzat kepada sifat. Semua ini adalah mungkin dalam kemampuan Allah. Hanya saja orang-orang jahil itu tidak menghormati Allah sepenuhnya sehingga mereka menganggap bahwa perubahan tersebut adalah mustahil, lalu mereka perlu untuk mendatangkan penafsiran-penafsiran bathil. Diantara mereka ada yang mendustakannya dan diantara mereka ada yang sibuk memalingkan artinya, dan sebagian lagi kebingungan tidak mengerti harus ngomong apa karena virus orang-orang jahil telah memenuhi telinganya sehingga dia buta dari memahami Al-Qur’an yang mulia..”. [13]

4. Al-Allamah Ahmad Syakir setelah menukil ucapan Ibnul Arabi di atas, beliau berkomentar: “Semua ini adalah bertele-tele dan bersusah payah terhadap masalah ghaib yang disembunyikan ilmunya oleh Allah. Kewajiban kita hanyalah beriman dengan berita yang datang sebagaimana adanya, kita tidak mengingkari atau menyelewengkan artinya. Hadits ini shahih, maknanya juga shahih dari riwayat Abu Sa’id al-Khudri dalam Bukhari, dan riwayat Abu Hurairah dalam Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Alam ghaib yang berada di luar alam kita tidak bisa digambarkan oleh akal kita dengan apa yang kita saksikan di muka bumi ini…benda dan sifat hanyalah sebuah istilah untuk mempermudah pemahaman. Sebaiknya bagi seorang adalah beriman dan beramal shalih kemudian menyerahkan masalah ghaib kepada Dzat Yang mengetahui alam ghaib, dengan demikian niscaya dia akan selamat di hari kiamat.

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu”. (QS. Al-Kahfi: 109). [14]

.

D. FIQIH HADITS

Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para ulama tentang masalah keabadian surga dan neraka dan bahwa keduanya tidak akan fana. Hal ini disamping telah ditunjukkan oleh hadits di atas, juga telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan merupakan ijma’ ulama kaum muslimin.

Dalil Al-Qur’an:

Sangat banyak sekali dali-dalil Al-Qur’an yang menunjukkan hal ini, diantaranya:

(QS. An-Nisa’: 57)

(QS. An-Nisa’: 168-169)

Dalil Ijma’:

Masalah ini juga merupakan kesepakatan ulama sunnah sebagaimana dinukil oleh banyak ulama, diantaranya, Al-Qurthubi beliau berkata: “Hadits-hadits shahih ini merupakan dalil yang tegas tentang kekalnya penduduk neraka selama-lamanya tanpa kematian, kehidupan, ketenangan dan keselamatan…Barangsiapa mengatakan bahwa mereka akan keluar darinya dan bahwa neraka akan kosong serta fana maka dia telah keluar dari rel akal dan menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Nabi serta kesepakatan ahli sunnah.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)

Hanya saja bagian atas Jahannam akan kosong yaitu tempat orang-orang bermaksiat dari kalangan ahli tauhid”. [15]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Para salaf umat ini, para imam dan seluruh ahli Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat bahwa sebagian makhluk ada yang tidak fana selama-lamanya seperti surga, neraka, arsy dan sebagainya. Tidak ada yang mengatakan bahwa seluruh makhluk itu fana kecuali kelompok ahli kalam, ahli bid’ah seperti Jahm bin Shafwan dan sealiran dengannya dari kalangan Mu’tazilah. Pendapat ini bathil dan menyelisihi kitabullah, sunnah Rasulullah dan kesepakatan salaf”[16]. [17]

Sebagai penutup, kita nukilkan bait al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi[18] sebagai berikut:

ثَمَانِيَةٌ حُكْمُ الْبَقَاءِ يَعُمُّهَا

مِنَ الْخَلْقِ وَالْبَاقُوْنَ فِيْ حَيِّزِ الْعَدَمْ

هِيَ الْعَرْشُ وَالْكُرْسِيُّ وَنَارٌ وَجَنَّةٌ

وَعَجْبٌ وَأَرْوَاحٌ كَذَا اللَّوْحُ وَالْقَلَمْ

Delapan perkara yang telah ditetapkan kekekalannya

Dari Makhuk, dan selainnya akan hancur binasa

Yaitu Arsy, Kursi, Neraka, Surga

Ajb (tulang belakang), Ruh, Lauh Mahfudh, dan Pena.

Ust Abu Ubaidah

www.abiubaidah.com

[1] Lihat Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah Dr. Yusuf al-Qardhawi hal. 173
[2] Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dalam al-Aqlaniyyun hal. 71-73 mengkritik motede yang ditempuh oleh penulis Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah ini dan menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan metode terselubung dalam menggugat hadits Nabi.

[3] Muqaddimah al-Albani dalam Raf’ul Astar li Ibthal Qailina bi Fanai Nar, ash-Shan’ani hal. 45

[4] Lihat Sunan Tirmidzi no. 2557

[5] Dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah hal. 234, Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa orang yang mengingkari hadits ini hanyalah mereka yang berakal dangkal!!.

[6] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kaidah asal suatu ungkapan adalah secara hakekatnya. Hal ini telah disepakati oleh seluruh manusia dari berbagai bahasa, karena tujuan bahasa tidak sempurna kecuali dengan hal itu”. (Tanbih Rajulil Aqil 2/487). Ibnu Badran juga berkata: “Kapan saja ada lafadz, maka harus dibawa kepada hakekat dalam babnya, baik bahasa, syara’ maupun ‘urf (kebiasaan)”. (a-Madkhal hal. 174)

[7] HR. Muslim: 804

[8] Shahih. HR. Ahmad 4/287, Abu Dawud 2/281, al-Hakim 1/37 dll, dishahihkan Abu Nuaim, al-Hakim, adz-Dzahabi, al-Baihaqi, Ibnu Qayyim, al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 202.

[9] Lihat Hadii Arwah Ila Biladi Afrah Ibnu Qayyim hal. 486-487, Syarh Aqidah Thahawiyah Ibnu Abil Azzi al-Hanafi 1/93, Syarh Qashidah Nuniyah Khalil Harras 2/431-4333.

[10] Hadii Arwah Ila Biladi Afrah hal. 486.

[11] Yang populer dengan Nuniyah Ibnu Qayyim. Lihat pula syarh kitab ini seperti Taudhih Maqashid wa Tashih Qawaid Ibnu Isa 2/591, Syarh Qashidah Nuniyah Khalil Harras 2/430-433, Syarh Qashidah Nuniyah Ibnu Utsaimin (kaset no. 58/B), at-Ta’liq Mukhtashar Shalih al-Fauzan 3/1276-1281.

[12] Lawamiul Anwar 2/236.

[13] Syarh Qashidah Nuniyah 2/431-433

[14] Musnad Imam Ahmad 8/240-241/no. 5993

[15] at-Tadzkirah li Ahwal Akhirah 2/511-512)

[16] Ucapan bagus ini menepis issu yang beredar bahwa Ibnu Taimiyyah berpendapat kalau Neraka itu fana. Telah nyata dengan bukti-bukti ilmiyah bahwa beliau berlepas diri dari issu tersebut, demikian pula murid beliau Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sebagaimana dijelaskan secara bagus oleh para peneliti masalah ini, diantaranya Dr. Ali al-Harbi al-Yamani dalam risalahnya “Kasyfu Astar li Ibthal Iddi’a Fana Nar al-Mansub li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah wa Tilmidzhi Ibnu Qayyim”. (Lihat pula Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Bakr Abu Zaid hal. 108, al-Minhah Ilahiyah Abdul Akhir hal. 276-277, Ta’liq asy-Syari’ah 3/1371-1375 oleh Dr. Abdullah bin Umar, Daf’u Syubah al-Ghawiyyah Murad Syukri hal. 111-113, Da’awil Munawiin li Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Dr Abdullah bin Shalih al-Ghushn hal. 610-624)

[17] Majmu Fatawa 18/307.

[18] Demikianlah yang benar sebagaimana disandarkan oleh Syaikh Ibnu Isa dalam Taudhih Maqashid 1/96 dan Syaikh Abdul Karim Barjas dalam Ash-Shafahat an-Nadhirah hal. 225 . Adapun apa yang dikatakan Syaikh al-Albani dalam Muqaddimah Raf’ul Astar hal. 18 dan muqadddimah Al-Ayaat al-Bayyinat hal. 91 bahwa ini adalah ucapan Ibnu Qayyim dalam Nuniyahnya, maka kami tidak mengerti hal ini, sebab sangat jelas sekali bahwa qafiyah bait ini bukan qafiyah nun. Wallahu A’lam.

TURUNNYA ALLAH KE LANGIT DUNIA

Tauhid Asma’ wa Sifat merupakan perkara urgen dalam wilayah tauhid, karena bagaimana mungkin seorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya tanpa mengenal nama dan sifat Dzat yang dia ibadahi. Pada zaman salaf dahulu, masalah ini tidak terlalu rumit, lantaran mereka dapat menyikapinya secara proporsional. Namun, masalah ini kini menjadi krusial, lantaran percikan syubhat para ahli bid’ah yang kurang puas dengan manhaj salaf dalam Asma wa Sifat, sehingga mereka memplintir dan merubah dalil yang shahih dari makna aslinya, padahal -kalau disadari- sebenarnya mereka telah membeo kaum Yahudi yang terlaknat.

Contohnya terlalu banyak kalau mau diuraikan satu persatu, tetapi cukuplah sebagai perwakilan, hadits tentang nuzul (turunnya) Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, dimana hadits ini telah diobok-obok oleh tangan sebagian kalangan yang tersesat jalan dan terombang-ambing dalam kebingungan nan kegelapan.

Nah, pada kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk mengkaji hadits tersebut dan menguraikan belitan syubhat para pengekor hawa nafsu seputar hadits tersebut. Semoga Allah selalu meneguhkan kita untuk meniti di atas jalanNya yang lurus. Amiin.

TEKS HADITS
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang yang memohon ampun kepadaKu, maka akan Aku ampuni”. [1]

.
HADITSNYA MUTAWATIR
Hadits tentang nuzulnya Allah tidak diragukan lagi keabsahannya. Seluruh ulama ahli hadits menshahihkannya, tidak ada satupun dari mereka yang melemahkannya. Bahkan, para ulama ahli hadits menilai bahwa derajat haditsnya mutawatir. Diantaranya:

1. Imam Abu Zur’ah berkata[2]: “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia ini derajatnya mutawatir dari Rasulullah, diriwayatkan oleh sejumlah sahabat Rasulullah. Hadits tersebut menurut kami adalah shahih dan kuat”.

2. Utsman bin Sa’id Ad-Darimi berkata: “Hadits nuzul diriwayatkan dari dua puluh tiga lebih sahabat dari Nabi”.[3]

3. Abdul Ghani Al-Maqdisi: “Telah mutawatir dan shahih hadits-hadits tentang turunnya Allah setiap hari ke langit dunia. Maka wajib bagi kita untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) serta takwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakekat turunnya Allah”.[4]

4. Imam Ibnu Abdil Barr: “Hadits ini adalah shahih sanadnya. Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ahli hadits tentang keabsahannya”. Beliau juga berkata: “Hadits ini dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang adil dari Nabi”.[5]

5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hadits ini mutawatir dan dinukil dari generasi ke generasi selanjutnya[6]. Beliau juga berkata: “Hadits masyhur yang diriwayatkan oleh banyak sahabat”.[7]

6. Imam Ad-Dzahabi berkata :“Saya telah menulis hadits-hadits tentang nuzul (turunnya Allah) dalam sebuah kitab khusus, derajat hadits-haditsnya saya berani menetapkannya mutawatir”.[8]

7. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: “Sesungguhnya turunnya Allah ke langit dunia telah dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah, yang diriwayatkan oleh kurang lebih dua puluh delapan sahabat”. [9]

Demikian pula ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi[10], Al-Kattani [11]dan Al-Albani[12].

.

Daftar Sahabat Periwayat Haditz Nuzul

Hadits nuzul ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya

Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Ali bin Abi Thalib,
Abu Hurairah,
Jubair bin Muth’im,
Jabir bin Abdullah,
Abdullah bin Mas’ud,
Abu Sa’id Al-Khudri,
Amr bin ‘Abasah,
Rifa’ah bin ‘Arabah Al-Juhani,
Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi,
Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari kakeknya,
Abu Darda’,
Mu’adz bin Jabal,
Abu Tsa’labah Al-Khusyani,
Aisyah,
Abu Musa Al-Asy’ari,
Ummu Salamah,
Anas bin Malik,
Hudzaifah bin Yaman,
Laqith bin Amir Al-‘Uqaili,
Abdullah bin Abbas,
Ubadah bin Shamith,
Asma’ binti Yazid,
Abul Khaththab,
‘Auf bin Malik,
Abu Umamah Al-Bahili,
Tsauban,
Abu Haritsah, dan
Khaulah binti Hakim. [13]
.

SYARH HADITS

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan:

“Para salaf, para imam dan para ahli ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar. Tetapi barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits sejenisnya dengan pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat makhluk, dan menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena itu madzhab salaf menyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan sifat-sifat yang terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”. [14]

Imam Al-Ajurri berkata:

“Iman dengan ini wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya: Bagaimana Allah turun? Dan tidak ada yang mengingkari ini kecuali kelompok Mu’tazilah. Adapun ahli haq, mereka mengatakan: Beriman dengannya adalah wajib tanpa takyif (membagaimanakan), sebab telah shahih sejumlah hadits dari Rasulullah bahwasanya Allah turun ke langit dunia setiap malam. Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka, sebagaimana para ulama menerima semua itu, maka mereka juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan: “Barangsiapa yang menolaknya maka dia adalah sesat dan keji”. Mereka waspada darinya dan memperingatkan umat dari penyimpangannya”. [15]

Imam Ibnu Khuzaimah berkata:

“Bab penyebutan hadits-hadits yang shahih sanad dan matan-nya. Para ulama Hijaz dan ‘Iraq meriwayatkan dari Nabi tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap malam. Kita bersaksi dengan persaksian seorang yang menetapkan dengan lisannya dan membenarkan dengan hatinya penuh keyakinan terhadap hadits-hadits seputar turunnya Allah tanpa membagaimanakan sifatnya, sebab Nabi kita tidak menyifatkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah ke langit dunia, tetapi hanya memberitakan kepada kita bahwa Dia turun, sedangkan Allah dan NabiNya tidak mungkin lalai untuk menjelaskan sesuatu yang dibutuhkan kaum muslimin dalam agama mereka. Maka kita membenarkan hadits-hadits ini yang berisi penetapan turunnya Allah tanpa menyulitkan diri untuk membagaimanakan sifat turunNya, lantaran Nabi tidak menerangkan kepada kita tentang sifat turunnya Allah”.[16]

Imam Ibnu Abdil Barr berkata:

“Mayoritas imam Ahli Sunnah berpendapat bahwa Allah turun sebagaimana dikhabarkan oleh Rasulullah, mereka membenarkan hadits ini dan tidak membagaimanakannya”. [17]

.

SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Dari segi sanad, sepertinya para ahli bid’ah tidak dapat berkutik apa-apa lagi lantaran sangat kuatnya. Namun mereka tetap tidak putus asa untuk menaburkan debu dengan mengarahkan bidikan pada matan (kandungan) hadits ini, seperti:

A. Tasybih

Mereka mengatakan[18]: Kalau kita tetapkan bahwa Allah punya sifat turun itu berarti Allah serupa dengan makhluk, padahal ini bertentangan dengan ayat:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. [19](QS. Asy-Syura: 11).

Jawaban:

Kaidah kita dalam masalah Asma wa Sifat adalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau rasulullah dalam haditsnya yang shahih tanpa menyerupakannya dengan sesuatupun dan mensucikanNya tapa mengingkari sifat-sifatNya sebagaimana firman Allah:

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat. (QS. Asy-Syura: 11).

Firman Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ “Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya” merupakan bantahan terhadap golongan musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).
Adapun firmanNya: وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ“Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. Merupakan bantahan terhadap golongan yang merubah makna sifat dan mengingkarinya. Jadi, kewajiban kita adalah menetapkna apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan menafikan apa Dia nafikan tanpa tahrif (merubah makna) dan ta’til (mengingkarinya). Inilah manhaj (metode) selamat yang harus ditempuh oleh setiap muslim, karena dibangun di atas ilmu dan kelrusan dalam i’tiqad. [20]
Imam Syaukani berkata,

“ Barangsiapa yang memahami dan merenungi ayat mulia ini dengan sebenar-benarnya niscaya dia akan meniti di atas jalan yang putih dan jelas di persimpangan perselisihan manusia dalam masalah sifat-sifat Alloh. Lebih mantap lagi apabila engkau merenungi makna firman Allah: “Dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat”. karena penetapan ini setelah peniadaan sesuatu yang serupa telah mengandung keyakinan yang mantap dan obat penawar hati. Wahai pencari kebenaran, pegangilah hujjah yang jelas dan kuat ini, niscaya engkau dapat memberantas berbagai corak kebid’ahan dan meremukkan argumen para tokoh kesesatan dan ahli filsafat”. [21]

Jadi, kita menetapkan sifat “turun” bagi Allah sebagaimana dikhabarkan oleh Nabi yang mulia tanpa menyerupakannya dengan turunnya makhluk. Apabila ada yang mengingkarinya dengan alasan “kalau kita tetapkan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk”, maka ini bathil. Kita tanyakan kepadanya: Apakah anda menetapkan sifat mendengar dan melihat bagi Allah? Kalau dia tidak menetapkannya, maka dia telah mengingkari ayat di atas. Dan apabila dia menetapkannya, maka dia telah kontradiksi karena makhluk juga mempunyai sifat mendengar dan melihat. Kalau dia berkata: Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi sama seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama seperti makhlukNya. Mengapa kalian menetapkan sebagian sifat, tetapi tidak menetapkan sifat lainnya, padahal sama-sama berlandaskan dalil yang shahih? Sungguh ini suatu kontradiksi yang sangat ajaib sekali!!!.
Jadi sekali lagi, menetapkan sifat turun bagi Allah bukan berarti kita menyerupakannya dengan makhluk, tidak ada seorang ulama salaf-pun yang berfaham demikian, bahkan kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 5/252: “Apabila seseorang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhlukNya, seperti mengatakan istiwa’ Allah serupa dengan istiwa’ makhlukNya, atau turunnya Allah serupa dengan turunnya makhluk, maka dia adalah mubtadi’ (ahli bid’ah), sesat dan menyesatkan, karena Al-Qur’an dan As-Sunnah serta akal menjelaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk dalam segala segi”.[22]
Lucunya, mereka menuding kaum salaf yang menetapkan sebagaimana manhaj yang benar sebagai kaum musyabbihah atau mujassimah! Subhanallah, hanya kepada Allah kita mengadu!.
Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan:

“Seluruh Ahli Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengartikannya secara dhahirnya. Tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimananya sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Khawarij mereka mengingkari sifat-sifat Allah dan tidak mengartikannya secara dhahirnya. Lucunya mereka meuding bahwa orang yang menetapkannya termasuk Musyabbih[23] (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk)”. [24]

B. Tahrif

Banyak sekali takwil dan tahrif yang menyelimuti hadits yang tegas ini. Mereka mengatakan: Bukan Allah yang turun, tetapi perintah Allah!. Ada lagi yang mengatakan: Rahmat Allah! Lain lagi mentakwilkan: Malaikat dari para malaikat Allah!. Adapun KH. Sirajuddin Abbas, dia berpendapat lain lagi: “Maksud hadits ini -menurut Ahlus Sunnah- bahwasanya pintu rahmat Tuhan terbuka malam hari seluas-luasnya, khusus pada akhir-akhir malam. Sekalian do’a dan permohonan diterima ketika itu. Oleh karena itu hendaklah mendo’a banyak-banyak setiap malam. Inilah maksudnya hadits ini”. (I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah hal. 276).

Jawab:

Tahrif seperti ini adalah bathil ditinjau dari dua segi:

Secara global: Asli dalam ungkapan seseorang adalah hakekat (bukan majaz) sehingga ada dalil yang memalingkannya kepada makna majaz. Sungguh amat mustahil sekali, bila Nabi Muhammad seringkali dan berulangkali mengucapkan suatu ungkapan yang didengar oleh banyak sahabatnya, namun kemudian beliau tidak menjelaskan makna sesungguhnya!. Siapakah orang yang lebih sayang terhadap umat manusia?! Nabi kita Muhammad ataukah kaum Mu’tazilah dan Asyairah?! Tidakkah mereka menyadari bahwa merubah arti dari dhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi yang dikecam oleh Allah?!:

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya.

(QS. An-Nisa’: 46)

Lalu orang-orang yang zhalim mengganti ucapan yang tidak dierintahkan kepada mereka.

(QS. Al-Baqarah: 59)

Semoga Allah merahmati Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tatkala mengatakan dalam Nuniyahnya 1923-1930:

أَُمِرَ الْيَهُوْدُ بِأَنْ يَقُوْلُوْا : حِطَّةٌ فَأَبَوْا وَقَالُوْا: حِنْطَةٌ لِهَوَانِ

وَكَذَلِكَ الْجَهْمِيُّ قِيْلَ لَهُ : اسْتَوَى فَأَبَى وَزَادَ الْحَرْفَ لِلنُّقْصَانِ

نُوْنُ الْيَهُوْدِ وَلاَمُ جَهْمِيٍّ هُمَا فِيْ وَحْيِ رَبِّ الْعَرْشِ زَائِدَتَانِ

Orang Yahudi diperintahkan untuk mengatakan Hithah (ampunilah).

Mereka enggan, bahkan berkata: Hinthah (gandum) demi kehinaan.

Demikian pula Jahmi dikatakan padanya: Istawa (tinggi)

Mereka enggan dan menambah huruf (istaula/berkuasa)[25].

Tambahan huruf “Nun” Yahudi dan “Lam” Jahmi

Keduanya dalam timbangan syar’I adalah tambahan.

Adapun secara terperinci:

Urusan dan nikmat Allah tidaklah turun pada saat khusus sepertiga malam terakhir saja, bahkan kapanpun waktunya. Allah berfirman, yang artinya:
Dan apa saja nikmat yang ada ada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).

(QS. An-Nahl: 53)

Kemudian apalah faedahnya nikmat dan urusan Allah hanya turun ke langit dunia saja tetapi tidak turun ke bumi?!
Adapun kalau diartikan “malaikat” maka kita jawab: Apakah masuk akal kalau malaikat mengatakan: Siapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan…?! Maka jelaslah bahwa tahrif ini adalah bathil, termentahkan oleh hadits fakta lapangan. [26]
Alangkah bagusnya ucapan Syaikh Al-Allamah Imam Abdul Aziz bin Baz tatkala membantah perubahan makna seperti ini:
“Ini merupakan kesalahan yang nyata sekali, bertentangan dengan nash-nash yang shahih yang menetapkan nuzul (turunnya) Allah. Pendapat yang benar adalah pendapat salaf shaleh, yaitu menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya, tanpa takyif (membagaimanakan), dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta waspadalah dari keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya. Semoga engkau bahagia dan selamat”. [27]

C. Akal-akalan

KH. Sirajuddin Abbas berkata dalam buku hitamnya “Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah” hal. 276: “Sebagaimana dimaklumi dunia ini bundar, malam di suatu tempat, siang di tempat yang lain, kalau di Indonesia matahari sudah terbenam dan sudah malam maka di Makkah baru pukul dua belas siang. Kalau di Indonesia siang bolong umpamanya pukul sepuluh pagi, maka di Belanda betul-betul pukul dua malam. Dan begitulah seterusnya. Nah, kalau tuhan turun ke bawah pada sepetiga malam sebagaimana turunnya Ibnu Taimiyah, maka pekerjaan tuhan hanya turun-turun saja setiap waktu bagi seluruh penduduk dunia. Karena waktu malam sepertiga malam terakhir bergantian di seluruh dunia, sedang tuhan hanya satu”.

Jawaban:

Penulis sudah pernah membantah syubhat ini[28], saya katakan waktu itu: Demikianlah jika seorang telah dimotori oleh akalnya! Mengapakah tuan menggambarkan Allah sedemikian rupa? Mengapakah tuan tiak pasrah terhadap hadits Rasul yang shahih? Bukankah Allah berfirman:

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadapan keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

(QS. An-Nisa’: 65: )

Imam Bukhari meriwayatkan dari Imam az-Zuhri bahwasanya beliau mengatakan: “Wahyu itu dari Allah, Rasulullah hanya menyampaikan, kewajiban kita hanyalaha pasrah dan tunduk”. [29]
Imam ath-Thohawi berkata: “Tidaklah selamat seorang hamba dalam agamanya kecuali apabila dia tunduk dan pasrah terhadap Allah dan RasulNya dan mengembalikan segala kesamaran kepada Dzat yang maha mengetahui”. [30]
Kewajiban kita dalam hadits-hadits seperti ini adalah:

Beriman dengan nash-nash yang shahih.
Tidak bertanya bagaimannya serta menggambarkannya, baik dalam fikiran, terlebih lagi dalam ungkapan. Karena hal itu termasuk berkata terhadap Allah tanpa dasar ilmu, sedangkan Allah tak dapat dijangkau dengan akal fikiran.
Tidak menyerupakan sifatNya dengan sifat makhluk. Allah berfirman, yang artinya:
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Maha mendengar dan melihat.

(QS. Asy-Syura: 11)

Apabila kita memahami kewajiban ini, maka tidak akan ada lagi kerancuan dalam hadits nuzul atau lainnya yang menerangkan sifat-sifat Allah. Yang penting, jika tibasepertiga malam terakhir maka Rabb turun ke langit dunia, sebagaimana diberitakan oleh Nabi”. [31]

.

FIQIH HADITS

Hadits ini memiliki beberapa faedah yang banyak sekali. Dalam kitabnya Al-Kawasyif Al-Jaliyyah hal. 451-454, Syaikh Abdul Aziz Al-Muhammad As-Salman dapat menarik 38 faedah dari hadits di atas, diantaranya:

1. Ketinggian Allah di atas arsy-Nya.

Dalam hadits ini terdapat faedah berharga tentang sebuah aqidah yang banyak dilupakan oleh mayoritas kaum muslimin saat ini yaitu tentang ketinggian Allah di atas langit. Hal itu diambil dari lafadz “Turun” karena makna “turun” dalam bahasa adalah dari atas ke bawah bukan sebaliknya.

Imam Utsman bin Sa’id ad-Darimi berkata: “Hadits ini sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”.[32]
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [33]
2. Menetapkan sifat “kalam” (berbicara) bagi Allah

Faedah ini diambil dari kandungan hadits: “Barangsiapa yang berdoa kepadaKu maka akan Aku kabulkan…”. Sifat “kalam” merupakan salah satu sifat yang sempurna dan hakekat (bukan majaz) bagi Allah. Banyak sekali dalil yang mendukungnya, salah satunya adalah firman Allah, yang artinya:
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS. An-Nisa’: 164)

Pernah dikisahkan bahwa sebagian Mu’tazilah pernah datang kepada Abu ‘Amr bin Al-‘Alaa’, salah seorang pakar ahli qira’ah: Saya ingin agar anda membaca:

وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

Dengan menashabkan (menfathah) lafadz Allah, agar supaya yang berbicara (subyek) adalah Musa, bukan Allah. Abu ‘Amr lantas menjawab: Taruhlah aku membaca ayat ini seperti itu, lantas apa yang akan kau perbuat dengan firman Allah:

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat kepada kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya. (QS. Al-A’raf: 143)

Akhirnya, seorang Mu’tazilah itu diam seribu bahasa!. [34]

3. Keutamaan sepertiga malam terakhir

Malam hari adalah saat keheningan hati, ketenangan, keikhlasan, dimana saat itu manusia dalam kelelapan tidur. Oleh karenanya, doa pada saat itu mustajab, terutama pada malam terakhir.

Allah berfirman, yang artinya:

Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (QS. Adz-Dzariyat: 16-17)

Nabi juga bersabda:

عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ : قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ : أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ : جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ

Dari Abu Umamah berkata: Ditanyakan kepada Rasulullah: “Doa apakah yang paling mustajab? Beliau menjawab: “Akhir malam dan penghujung shalat lima waktu”. [35]

Imam Abu Bakar Ath-Thurthusi berkata dalam: “Sebagai penutup bab ini, tidak pantas bagi seorang yang butuh kepada Allah kemudian dia tidur di waktu malam terakhir”.[36]
Maka pergunakanlah kesempatan berharga ini -wahai saudaraku- untuk memperbanyak doa, istighfar dan taubat sebelum maut menjemputmu.

اغْتَنِمْ فِيْ الْفَرَاغِ فَضْلَ رُكُوْعٍ فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ مَوْتُكَ بَغْتَةْ

كَمْ صَحِيْحٍ رَأَيْتَ مِنْ غَيْرِ سُقْمٍ ذَهَبَتْ نَفْسُهُ الْعَزِيْزَةُ فَلْتَةْ

Gunakanlah waktu luangmu untuk memperbanyak shalat

Barangkali kematianmu datang tiba-tiba secara cepat.

Betapa banyak orang yang sehat wal afiat, tiada cacat.

Jiwanya yang sehat melayang cepat[37].

.

Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Abiubaidah.com

[1] HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.
[2] Sebagaimana dinukil oleh Abu Syaikh Ibnu Hibban dalam Kitab As-Sunnah. (Lihat Umdatul Qary 7/199 oleh Al-‘Ainiy).

[3] Naqdu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Marisi Al-Anid hal. 283

[4] Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 100

[5] At-Tamhid 3/338

[6] Majmu Fatawa 5/372

[7] Majmu Fatawa 5/382 dan 16/421

[8] Al-Uluw hal. 116 -Mukhtashar Al-Albani-

[9] Ash-Shawa’iq Al-Mursalah 2/221 -Mukhtashar Al-Mushiliy-

[10] Ash-Sharimul Munki hal. 229

[11] Nadhmul Mutanasir hal. 192

[12] Silsilah Ash-Shahihah 2/716-717 dan Adh-Dha’ifah 8/365

[13] Lihat Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnul Qayyim 2/230, Umdatul Qori Al-‘Aini 7/198, Kitab Nuzul Ad-Daruqutni.

[14] Syarah Hadits Nuzul hal. 69-70.

[15] Asy-Syari’ah 2/93 -Tahqiq Walid bin Muhammad-.

[16] Kitab At-Tauhid wa Itsbat Shifat Ar-Rabb hal. 125 -Tahqiq Muhammad Khalil Harras-.

[17] At-Tamhid 3/349

[18] Bandingkan dengan buku “I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah” hal. 272-273 oleh KH. Sirajuddin Abbas, Pustaka Tarbiyah, cet ke 19 Jakarta 1994. Ironisnya, tatkala penulis ke sebuah toko buku di Surabaya, ternyata kitab sesat dan menyesatkan ini dicetak ulang lagi oleh penerbit tersebut dengan cetakan yang baru dan mewah!!!

[19] Perhatikanlah -wahai saudaraku- para ahli bid’ah memenggal dalil dan tidak menyempurnakannya, karena lafadz berikutnya akan membungkam fahamnya!! Inikah amanah ilmiyah ataukah ini perilaku keji kaum Yahudi yang beriman dengan sebagian dan mengkufuri sebagian lainnya?!.

[20] Taqrib at-Tadmuriyyah hal 12 oleh Syaih Muhammad bin Shalih Utsaimin.

[21] Fathul Qadir 4/528.

[22] Ucapan mantap ini mendustakan cerita yang banyak beredar bahwa Ibnu Taimiyah menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya beliau dari mimbar, sebagaimana sering didengungkan oleh kaum kuburiyyun dan ahli bid’ah, termasuk KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 266-267 dan 40 Masalah Agama 2/215-217.

[23] Contoh mudah, tuduhan KH. Sirajuddin Abbas terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, katanya dalam buku yang sama hal. 262: “Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa beliau terpengaruh dengan faham-faham kaum Musyabbihah dan Mujassimah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk”. Pada hal. 263: “Jadi beliau sebenarnya harus dimasukkan dalam Bab kaum Mujassimah atau Musyabbihah, karena ada persamaannya dalam I’tiqad”.

[24] At-Tamhid 3/351.

[25] Termasuk keajaiban dunia, KH. Sirajuddin Abbas dalam buku hitamnya I’tiqad Ahli bid’ah hal. 271-273 termasuk pembela tahrif makna istawa dengan menguasai, bahkan membantah para ulama yang mengartikannya secara lahirnya yaitu tinggi, tak cukup hanya itu dia juga menggap bahwa mereka sesat lagi menyesatkan!!!.

[26] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 5/415-417, Mukhtashar Shawaiq Mursalah Ibnu Qayyim 2/221-224, Syarh Aqidah Wasithiyah Ibnu Utsaimin 2/434-435).

[27] Ta’liq Fathul Bari 3/30.

[28] Dlam makalahnya berjudul “Membongkar Kebohongan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah” dimuat dalam Majalah As-Sunnah edisi 12/Th V/1422 H/2001 M.

[29] Lihat Fathul Bari 13/512).

[30] Lihat Syarah Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 199).

[31] Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Utsaimin 1/216.

[32] Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285).

[33] At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[34] Syarh Aqidah Ath-Thohawiyah 1/177 oleh Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi, tahqiq Syu’aib Al-Arnauth. Sebab kata “Rabbuhu” dalam ayat di atas mesti dan wajib sebagai subyek, tidak mungkin dirubah sebagai obyek sebagaimana tertera dalam kaidah nahwu. (Lihat Syarh Qathr Nada, Ibnu Hisyam hal. 182-183).

[35] HR. Tirmidzi: 3499 dan dihasankan Imam Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi 3/442.

[36] Ad-Du’a Al-Ma’tsur wa Adabuhu hal. 68

[37] Bahjatul Majalis 3/260.