Tentang Belajar-Aqidah

Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan berlaku di alam semesta ini, inti pokok dari Islam adalah Aqidah. tetapi saat ini fenomena yang ada kebanyakan dari umat Islam sendiri jarang yang mengenal Aqidahnya sendiri yang harus dia yakini dan pegang erat hingga ajal dan nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb-nya Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, dalam blog ini insya Allah akan di isi dengan Aqidah Islam yang shahih sesuai dengan apa yang di ajarkan Rosulullah kepada para murid-murid beliau yaitu Shahabat Radliaallahu 'anhum ajmain. bukan Aqidah yang dibuat-buat oleh generasi sesudahnya yang menyimpang dari ajaran Nabi Shallallahu'alaihi wa salam. artikel-artikel tersebut kami ambil dari berbagai sumber yang shahih insya Allah dan bukan atas tulisan kami sendiri. kami bukan ustadz, kami hanyalah penuntut ilmu, oleh karena itu adalah sebuah adab bagi kami untuk merujuk segala sesuatu kepada sumbernya yaitu para 'ulama.

IMAN KEPADA ALLAH

Selasa, 21 September 2010
Pengertian Iman

Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang yang sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu yang berbau tak sedap atau semisalnya.
Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda,
”Iman lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan cabang dari keimanan.” (1)
Secara pokok iman memiliki enam rukun sesuai dengan yang disebutkan dalam hadist Jibril (2) tatkala bertanya kepada Nabi Shallahu’alaihi wa sallam tentang iman, lalu beliau menjawab,
الإِيْماَنُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَِئكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرَسُلِهِ والْيَوْمِ اْلآخِرِوَتُؤْمِنَ بِالْقَدِرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, dan percaya kepada taqdirNya, yang baik dan yang buruk.” (3)
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam firmanNya,
”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu”(4)
Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’ adalah shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun perintah shalat menghadap ke Baitullah (Ka’bah) para sahabat mengahadap ke Baitul Maqdis.

Iman kepada Allah

Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya apa yang dikehendakiNya. (5)
Beriman kepada Allah juga bisa diartikan(6), berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:(7)
Beriman akan adanya Allah.
Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi Shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَامِنْ مَوْلُوْدٍِ إِلاَّ يُوْ لَدُعَلَى الْفِطْرَةِ فَأَ بْوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَجِّسَانِهِ
”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang menjadikan mereka Yahudi, Nashrani, atau Majusi.”(8)
Bahwa makhluk tersebut tidak muncul begitu saja secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti ada yang mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah berfirman,
”Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?"(9)
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
Lebih jelasnya kita ambil contoh, seandainya ada orang yang memberitahu anda ada sebuah istana yang sangat megah yang dikelilingi taman, terdapat sungai yang mengalir di sekitarnya, di dalamnya penuh permadani, perhiasan dan ornamen-ornamen indah. Lalu orang tersebut berkata kepada anda, istana yang lengkap beserta isinya itu ada dengan sendirinya atau muncul begitu saja tanpa ada yang membangunnya. Maka anda pasti segera mengingkari dan tidak mempercayai cerita tersebut dan anda menganggap ucapannya itu sebagai suatu kebodohan.
Lalu apa mungkin alam semesta yang begitu luas yang dilengkapi dengan bumi, langit, bintang, dan planet yang tertata rapi, muncul dengan sendirinya atau muncul dengan tiba-tiba tanpa ada yang menciptakan?
Adannya kitab-kitab samawi(10) yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula hukum serta aturan dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Adanya orang-orang yang dikabulkan do’anya. Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-bukti kuat adanya Allah. Allah berfirman:
”Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan kami memperkenankan doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.”(11)
Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan yang disebut mukjizat adalah suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang tidak lain Dia adalah Allah Azza wa Jalla.
Misalnya: Mukjizat nabi Musa ’Alahissalam. Tatkala belau diperintah memukulkan tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan tersebut menjadi dua belas jalan yang kering dan air di antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman Allah,
”Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.”(12)
Contoh lain adalah mukjizat yang diberikan kepada nabi Isa ’Alaihissalam berupa membuat burung dari tanah, menyembuhkan orang buta sejak lahirnya dan penyakit sopak (13), menghidupkan orang mati dan mengeluarkan dari kuburannya atas izin Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. ”(14)
Mengimani sifat rububiyah Allah (Tauhid Rububiyah)
Yaitu mengimani sepenuhnya bahwa Allah-lah memberi rizki, menolong, menghidupkan, mematikan dan bahwasanya Dia itu adalah pencipta alam semesta, Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah)
Yaitu mengimani hanya Dia lah sesembahan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, mengesakan Allah melalui segala ibadah yang memang disyariatkan dan diperintahkan-Nya dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum bisa dikatakan beriman kepada Allah karena kaum musyrikin pada zaman Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam juga mengimani tauhid rububiyah saja tanpa mengimani tauhid uluhiyah, mereka mengakui bahwa Allah yang memberi rizki dan mengatur segala urusan tetapi mereka juga menyembah sesembahan selain Allah.
Allah berfirman,
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.’ Maka, mereka men-jawab: ‘Allah.’ Maka, katakanlah: ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?’ … (15)
Dan Allah berfirman,
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain ).”(16)
Mengimani Asma’ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Sifat)
Yaitu menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah, tanpa tahrif(17) dan ta’thil(18) serta tanpa takyif(19) dan tamtsil(20).
Dua Prinsip dalam meyakini sifat Allah Subhanahu wa ta’ala,
Allah Subhanahu wa ta’ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah dan diri seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam al-Qur’an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah tentang wajah, tangan dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu’tazilah.(21)
Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya.(22)
Allah berfirman,
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.”(23)
Buah beriman kepada Allah
Beriman kepada Allah secara benar sebagaimana digambarkan akan membuahkan beberapa hasil yang sangat agung bagi orang-orang beriman, diantaranya:
Merealisasikan pengesaan kepada Allah sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan kandungan makna nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya Yang Agung.
Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.
(bersambung)
Referensi:
al-Fauzan, Shalih. Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Pustaka Ishlahul Ummah: Jakarta
al-Utsaimin, Muhhamad bin Shalih,. 2006.Ulasan Tuntas Tentang Tiga Prinsip Pokok. Darul Haq: Jakarta
an-Nawawi, al-Imam. 2006. Syarah Arbain Nawawi. Darul Haq: Jakarta
e-book file chm, almanhaj versi 38
Yazid bin Abdul Qodir Jawwas. 2006. Syarah Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Putaka Imama Syafi’i: Jakarta
(1) Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614
(2) Hadist no. 2 pada hadist arba’in an-Nawawi
(3) Mutafaqqun ‘alaihi
(4) QS. Al-Baqarah:143
(5) Pengertian oleh Imam Ibnu Daqiq dalam Syarah Arbai’in an-Nawawi, penerbit Darul Haq, hal. 41
(6) Pengertian oleh syaikh Shalih al-Fauzan, Prinsip-prinsip aqidah ahlussunnah wal jama’ah, Pustaka Ishlahul Ummah, hal.16
(7) Seperti yang disebutkan oleh Syaikh Utsaimin dalam syarah Utsuluts Tsalatsah
(8) Riwayat Bukhari
(9) QS. Ath-Thur: 35
(10) Kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-rasulNya: Zabur, Taurot, Injil, al-Quran
(11) QS. Al-Anbiya’: 76
(12) QS. Asy-Syu’ara’: 63
(13) Semacam penyakit kulit
(14) QS. Ali Imran: 49
(15) QS. Yusuf: 31-32
(16) QS. Yusuf : 106
(17) Tahrif atau takwil yaitu mengubah lafadz Nama dan Sifat, atau mengubah maknanya, atau menyelewengkan dari makna sebenarnya. Misalnya adalah perkataan Ahli Bid’ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul intiqam (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan iradatul in’ am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan), dengan an-ni’mah (nikmat). Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya
(18) Ta’thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : Meniadakan sifat-sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat-Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.
(19) Takyif artinya bertanya dengan kaifa, (bagaimana). Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/keadaan tertentu untuknya. Meniadakan bentuk/keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut diketahui dari bahasa Arab. Inilah paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/keadaan istiwa’, -bersemayam-. Beliau Rahimahullah menjawab :
“Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/ keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya bid’ah.”
Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna-maknanya.
(20) Tamtsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.
Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu :
Pertama :
Menyerupakan makhluk dengan Pencipta. Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua.
Kedua :
Menyerupakan Pencipta dengan makhluk. Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimiliki oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan
(21) Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Masalah tauhid, http://www.almanhaj.or.id/content/925/slash/0
(22) Ibid
(23) QS. Asy-Syuura’: 11

sumber : maramissetiawan.wordpress.com

IMAN KEPADA NABI DAN ROSUL ALLAH

Iman Kepada Rasul

Penyusun: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi

Saudariku! Jangan Pandang Sebelah Mata Pembahasan Ini

Mungkin ada diantara kita yang merasa cukup dengan apa yang telah dipelajari selama ini dari bangku SD hingga bangku SMA (bahkan bangku perkuliahan) atau merasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, sudah tahu bahwa Nabi itu ada 25, sifat nabi yang wajib ada 4, shidiq, fatonah, amanah, dan tabligh. Jika demikian pemahamanmu wahai saudariku, maka kebutuhanmu semakin besar dalam membaca tulisan kali ini, sehingga dengan izin Allah, engkau akan menyadari makna dan konsekuensi yang benar dari pernyataan keimananmu kepada Nabi dan Rasul-Nya ‘alaihimush shalatu wassalam.

Definisi Nabi dan Rasul

Nabi dalam bahasa Arab berasal dari kata naba. Dinamakan Nabi karena mereka adalah orang yang menceritakan suatu berita dan mereka adalah orang yang diberitahu beritanya (lewat wahyu). Sedangkan kata rasul secara bahasa berasal dari kata irsal yang bermakna membimbing atau memberi arahan. Definisi secara syar’i yang masyhur, nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu namun tidak diperintahkan untuk menyampaikan sedangkan Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu dalam syari’at dan diperintahkan untuk menyampaikannnya (*). Sebagian ulama menyatakan bahwa definisi ini memiliki kelemahan, karena tidaklah wahyu disampaikan Allah ke bumi kecuali untuk disampaikan, dan jika Nabi tidak menyampaikan maka termasuk menyembunyikan wahyu Allah. Kelemahan lain dari definisi ini ditunjukkan dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

(*) Syaikh Ibn Abdul Wahhab menggunakan definisi ini dalam Ushulutsalatsah dan Kasyfu Syubhat, begitu pula Syaikh Muhammad ibn Sholeh Al Utsaimin.

“Ditampakkan kepadaku umat-umat, aku melihat seorang nabi dengan sekelompok orang banyak, dan nabi bersama satu dua orang dan nabi tidak bersama seorang pun.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi juga menyampaikan wahyu kepada umatnya. Ulama lain menyatakan bahwa ketika Nabi tidak diperintahkan untuk menyampaikan wahyu bukan berarti Nabi tidak boleh menyampaikan wahyu. Wallahu’alam. Perbedaan yang lebih jelas antara Nabi dan Rasul adalah seorang Rasul mendapatkan syari’at baru sedangkan Nabi diutus untuk mempertahankan syari’at yang sebelumnya.

Bagaimana Beriman Kepada Nabi dan Rasul ?

Ketahuilah saudariku! Beriman kepada Nabi dan Rasul termasuk ushul (pokok) iman. Oleh karena itu, kita harus mengetahui bagaimana beriman kepada Nabi dan Rasul dengan pemahaman yang benar. Syaikh Muhammad ibn Sholeh Al Utsaimin menyampaikan dalam kitabnya Syarh Tsalatsatul Ushul, keimanan pada Rasul terkandung empat unsur di dalamnya (*).

(*) Perlu diperhatikan bahwa penyebutan empat di sini bukan berarti pembatasan bahwa hanya ada empat unsur dalam keimanan kepada nabi dan rosul-Nya.

Mengimani bahwa Allah benar-benar mengutus para Nabi dan Rasul. Orang yang mengingkari – walaupun satu Rasul – sama saja mengingkari seluruh Rasul. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (QS. Asy-Syu’araa 26:105). Walaupun kaum Nuh hanya mendustakan nabi Nuh, akan tetapi Allah menjadikan mereka kaum yang mendustai seluruh Rasul.
Mengimani nama-nama Nabi dan Rasul yang kita ketahui dan mengimani secara global nama-nama Nabi dan Rasul yang tidak ketahui. – akan datang penjelasannya -
Membenarkan berita-berita yang shahih dari para Nabi dan Rasul.
Mengamalkan syari’at Nabi dimana Nabi diutus kepada kita. Dan penutup para nabi adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau diutus untuk seluruh umat manusia. Sehingga ketika telah datang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wajib bagi ahlu kitab tunduk dan berserah diri pada Islam Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-NisaA’ 4:65)
Jumlah Nabi dan Rasul

Ketahuilah saudariku, jumlah Nabi tidaklah terbatas hanya 25 orang dan jumlah Rasul juga tidak terbatas 5 yang kita kenal dengan nama Ulul ‘Azmi. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Dzar Al-Ghifari, ia bertanya pada Rasulullah, “Ya Rasulullah, berapa jumlah rasul?”, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “Tiga ratus belasan orang.” (HR. Ahmad dishahihkan Syaikh Albani). Dalam riwayat Abu Umamah, Abu Dzar bertanya, “Wahai Rasulullah, berapa tepatnya para nabi?”, Nabi shallallahu’alaihiwasallam menjawab, “124.000 dan Rasul itu 315 orang.” Namun terdapat pendapat lain dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa jumlah Nabi dan Rasul tidak dapat kita ketahui. Wallahu’alam.

Oleh karena itulah, walaupun dalam Al-Qur’an hanya disebut 25 nabi, maka kita tetap mengimani secara global adanya Nabi dan Rasul yang tidak dikisahkan dalam Al-Qur’an. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (QS. Al-Mu’min 40:78). Selain 25 nabi yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, terdapat 2 nabi yang disebutkan Nabi shalallahu’alaihiwasalam, yaitu Syts dan Yuusya’.

Berkenaan dengan tiga nama yang disebut dalam Al-Qur’an yaitu Zulkarnain, Tuba’ dan Khidir terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama apakah mereka Nabi atau bukan. Akan tetapi, untuk Zulkarnain dan Tuba’ maka yang terbaik adalah mengikuti Rasulullah shalallahu’alaihiwasalam, Beliau shalallahu’alaihiwasalam bersabda, “Aku tidak mengetahui Tubba nabi atau bukan dan aku tidak tahu Zulkarnain nabi atau bukan.” (HR. Hakim dishohihkan Syaikh Albani dalam Shohih Jami As Soghir). Maka kita katakan wallahu’alam. Untuk Khidir, maka dari ayat-ayat yang ada dalam surat Al-Kahfi, maka seandainya ia bukan Nabi, maka tentu ia tidak ma’shum dari berbagai perbuatan yang dilakukan dan Nabi Musa ‘alaihissalam tidak akan mau mencari ilmu pada Khidir. Wallahu’alam.

Tugas Para Rasul ‘alaihissalam

Allah mengutus pada setiap umat seorang Rasul. Walaupun penerapan syari’at dari tiap Rasul berbeda-beda, namun Allah mengutus para Rasul dengan tugas yang sama. Beberapa diantara tugas tersebut adalah:

Menyampaikan risalah Allah ta’ala dan wahyu-Nya.
Dakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Memberikan kabar gembira dan memperingatkan manusia dari segala kejelekan.
Memperbaiki jiwa dan mensucikannya.
Meluruskan pemikiran dan aqidah yang menyimpang.
Menegakkan hujjah atas manusia.
Mengatur umat manusia untuk berkumpul dalam satu aqidah.
Kesalahan-Kesalahan Dalam Keimanan Kepada Nabi dan Rosul

Terdapat berbagai pemahaman yang salah dalam hal keimanan pada Nabi dan Rasul-Nya ‘alaihisholatu wassalam. Beberapa di antara kesalahan itu adalah:

Memberikan sifat rububiyah atau uluhiyah pada nabi. Ini adalah suatu kesalahan yang banyak dilakukan manusia. Mereka meminta pertolongan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika telah wafat, menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cahaya di atas cahaya (sebagaimana kita dapat temui dalam sholawat nariyah) dan sebagainya yang itu merupakan hak milik Allah ta’ala semata. Nabi adalah manusia seperti kita. Mereka juga merupakan makhluk yang diciptakan Allah ta’ala. Walaupun mereka diberi berbagai kelebihan dari manusia biasa lainnya, namun mereka tidak berhak disembah ataupun diagungkan seperti pengagungan pada Allah ta’ala. Mereka dapat dimintai pertolongan dan berkah ketika masih hidup namun tidak ketika telah wafat.
Menyatakan sifat wajib bagi Nabi ada 4, yaitu shidiq, amanah, fatonah dan tabligh. Jika maksud pensifatan ini untuk melebihkan Nabi di atas manusia lainnya, maka sebaliknya ini merendahkan Nabi karena memungkinkan Nabi memiliki sifat lain yang buruk. Yang benar adalah Nabi memiliki semua sifat yang mulia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qolam 68:4) Mustahil bagi orang yang akan memperbaiki akhlak manusia tapi memiliki akhlak-akhlak yang buruk dan yang lebih penting lagi, pensifatan ini tidak ada dasarnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mengatakan bahwa ada nabi perempuan.
Kekhususan Bagi Nabi

Mendapatkan wahyu.
Ma’shum (terbebas dari kesalahan).
Ada pilihan ketika akan meninggal.
Nabi dikubur ditempat mereka meninggal.
Jasadnya tidak dimakan bumi.
Kebutuhan manusia pada para Nabi dan Rasul-Nya adalah sangat primer. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan, “Risalah kenabian adalah hal yang pasti dibutuhkan oleh hamba. Dan hajatnya mereka pada risalah ini di atas hajat mereka atas segala sesuatu. Risalah adalah ruhnya alam dunia ini, cahaya dan kehidupan. Lalu bagaimana mau baik alam semesta ini jika tidak ada ruhnya, tidak ada kehidupannya dan tidak ada cahayanya.”

Demikianlah saudariku. Kita mengetahui kebutuhan hamba akan risalah yang disampaikan oleh Rasul-Nya sangatlah besar. Karena tidaklah seorang hamba dapat melaksanakan ibadah yang dicintai dan diridhoi oleh Allah ta’ala kecuali dengan pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dengan diutusnya para Rasul ini, kita mengetahui bahwa Allah menyayangi dan memberi pertolongan pada hambanya. Oleh karena itulah kita wajib bersyukur dengan nikmat yang besar ini. Wallahu ‘alam.

Maraji’:

Syarh Tsalatsatul Ushul. Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin.
Rekaman kajian Iman kepada Nabi dan Rosul, Dauroh Muslim Muslimah Dasar 2004. Ustadz Kholid Syamhudi.
***

Artikel www.muslimah.or.id